Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan
terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut
oleh masyarakat tradisional Sunda. Akan
tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga
memiliki unsur monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam
pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang
disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi
Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan
Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan.
Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama
oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang
Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu
kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya
kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan
hingga batas tertentu, ajaran Islam. Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini
disebut sebagai ajaran "Jatisunda". Ajaran
Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia
dan Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri
Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima
unsur yang termasuk di dalamnya:
Welas asih(cinta kasih), Undak usuk(tatanan
dalam kekeluargaan), Tata karma(tatanan perilaku), Budi bahasa dan budaya, Wiwaha
yudha naradha(sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum
melakukannya)
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal,
semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun,
ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam
ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada
Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:Rupa, Adat, Bahasa, Aksara, Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab
Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar,
manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang
tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi
jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu.
Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam
kehidupan. Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para
pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua : Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain, Yang bisa membahayakan diri sendiri
0 komentar:
Posting Komentar