Kebudayaan Ubrug
Banten
Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu
saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug
ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang
berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil
dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan,
maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi
atau tempat pertunjukan.
Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar,
kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau
betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang
yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat
menggantungkan alat-alat tersebut.
Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain
tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau
bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus
membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai
pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang
dibawakannya.
Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1)
Tatalu : gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga
kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai pada pukul 21.00 WIB. (2)
Lalaguan : Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar
2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan : lakon
atau cerita yang akan disuguhkan. (4) Soder yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang
pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh
ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari beberapa saat dan kemudian
barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya dan si pemilik menerima
dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30 menit.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu
minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah
arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu
gembrong atau lampu petromak. Ubrug
dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun
kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai
panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton
dapat menyaksikannya dari segala arah.
0 komentar:
Posting Komentar