Ontologi Al Farabi

Metafisika dalam pemikiran Al Farabi sendiri banyak membahas tentang persoalan ketuhanan (yang dalam hal ini terkadang disalah pahami oleh para teolog), yang mengkompromikan pemikiran filsafat Aristoteles dengan filsafat neo-platonisme. Dimana dikatakan bahwa Tuhan (Allah) sumber segalanya yang menjadi sebab yang pertama (almaujudul awwal) dan paling utama bagi segala macam bentuk sebab yang kedua (setelahnya). Dari sini juga dikatakan sebab yang kedua tersebut tidak akan pernah ada (terwujud) tanpa adanya wujud yang lebih kuat yaitu yang tidak berwujud dan yang tidak berupa apapun yang dari wujudnya lah (dzatNya) segala sesuatunya menjadi ada.
Tuhan dalam pandangan Al Farabi adalah sesuatu yang sangat jauh dari wujud makhluk-makhlukNya dan Ia hanya bisa dicapai dengan jalan renungan (kontemplasi) dan amalan yang melalui pengalaman batin. Hal ini sangat mungkin juga dipengaruhi oleh pemikirannya dalam dunia tasawuf, dimana Al Farabi juga dikenal sebagai seorang mistikius tasawuf dalam Islam yang banyak membicarakan tentang persoalan ketuhanan.
Dari seluruh pemaparan diatas, ontologi pemikiran Al Farabi yang paling terkenal dan mendasar serta banyak mempengaruhi pemikir setelahnya utamanya Ibnu Sina adalah tentang pandangannya tentang teori emanasi. Dimana dalam kitabu arai ahlul madinatil fadhilah dibahas dalam dalam pasal tentang tingkatan-tingkatan wujud yang dimulai dari wujud yang sempurna atau tanpa memilik cacat sama sekali sebagai wujud penggerak pertama dan utama yakni Tuhan (Allah), yang kemudian wujud yang sempurna ini memberikan konstelasi realitas, dimana wujud yang ada diatas memberikan pancaran kepada wujud yang ada dibawahnya, sehingga memberikan pemahaman bahwa melalui eksistensi dari wujud yang sempurna tersebut maka kemudian secara mutlak memberikan eksistensi terhadap wujud yang tidak sempurna yang ada di bawahnya. Dalam hal ini kemudian memunculkan tingkatan-tingkatan pancaran dalam pola hubungan antara yang sempurna dan tidak sempurna tadi.
Dalam teori emanasi Al Farabi ini (yang sering disalah maknai oleh para komentatornya yang menyamakannya dengan pemikiran para teolog), ia menggunakan pendekatan yang digunakan oleh Neoplatonisme yang besifat monistik yang menjadikan Allah sebagai pencipta yang menciptakan segala sesuatu dari bahan yang sudah ada melalui pancaran. Artinya bahwa Allah menciptakan alam semenjak zaman azali, dimana materinya berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Allah (Tuhan itu) adalah ‘aql, ‘aqil dan ma’qul, dimana Ia disebut ‘aql karena Ia mencipta dan mengatur alam yang beredar menurut aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa sedikit pun ada masalah di dalamnya. Oleh karenanya, maka cara Allah menciptakan alam adalah dengan berta’qul terhadap DzatNya dengan proses sebagai berikut: Allah adalah sesuatu yang sempurna, Ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena hal itu akan membuat dirinya terlalu rendah sebab berhubungan dan memikirkan alam yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan dzatNya (tolong dibedakan antara kata ‘aql dan fikr dalam terminologi Al Quran), sehingga terciptalah energi yang maha dahsyat secara pancaran dan dari energi inilah terjadi akal yang pertama yang memadat dalam bentuk materi. Akal pertama berfikir tentang Allah yang kemudian menghasilkan akal kedua dan berfikir tentang dirinya sehingga menghasilkan langit pertama.
Namun menurut Nurkholis Madjid dalam Sirajuddin Zar (2007: 76-77) dalam mengomentari pandangan Al Farabi, hal tersebut cenderung mengambil dan mempelajari ramuan asing (yang diambil dari doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan sistem kosmologi Ptalomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa Al Farabi hanya mengalihbahasakan pemikiran sebelumnya ke dalam bahasa Arab) terutama agar paham ketuhanannya memberikan kesan tauhid.
Intinya, bahwa dalam pemikiran Al Farabi tentang teori emanasi ini, pancaran (emanasi) yang ada tersebut kemudian melahirkan alam yang qadim dari segi zaman bukan dari segi dzat. Sebab alam dijadikan oleh Allah secara emanasi sejak zaman azali tanpa diselingi oleh waktu, namun alam tersebut hanyalah berupa hasil ciptaan yang oleh karenanya menjadikannya bersifat baharu.
Sumber : Madkour, Ibrahim, 1992, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy, alih bahasa Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 11 Desember 2016

Ontologi Al Farabi

Diposting oleh Unknown di 07.22
Metafisika dalam pemikiran Al Farabi sendiri banyak membahas tentang persoalan ketuhanan (yang dalam hal ini terkadang disalah pahami oleh para teolog), yang mengkompromikan pemikiran filsafat Aristoteles dengan filsafat neo-platonisme. Dimana dikatakan bahwa Tuhan (Allah) sumber segalanya yang menjadi sebab yang pertama (almaujudul awwal) dan paling utama bagi segala macam bentuk sebab yang kedua (setelahnya). Dari sini juga dikatakan sebab yang kedua tersebut tidak akan pernah ada (terwujud) tanpa adanya wujud yang lebih kuat yaitu yang tidak berwujud dan yang tidak berupa apapun yang dari wujudnya lah (dzatNya) segala sesuatunya menjadi ada.
Tuhan dalam pandangan Al Farabi adalah sesuatu yang sangat jauh dari wujud makhluk-makhlukNya dan Ia hanya bisa dicapai dengan jalan renungan (kontemplasi) dan amalan yang melalui pengalaman batin. Hal ini sangat mungkin juga dipengaruhi oleh pemikirannya dalam dunia tasawuf, dimana Al Farabi juga dikenal sebagai seorang mistikius tasawuf dalam Islam yang banyak membicarakan tentang persoalan ketuhanan.
Dari seluruh pemaparan diatas, ontologi pemikiran Al Farabi yang paling terkenal dan mendasar serta banyak mempengaruhi pemikir setelahnya utamanya Ibnu Sina adalah tentang pandangannya tentang teori emanasi. Dimana dalam kitabu arai ahlul madinatil fadhilah dibahas dalam dalam pasal tentang tingkatan-tingkatan wujud yang dimulai dari wujud yang sempurna atau tanpa memilik cacat sama sekali sebagai wujud penggerak pertama dan utama yakni Tuhan (Allah), yang kemudian wujud yang sempurna ini memberikan konstelasi realitas, dimana wujud yang ada diatas memberikan pancaran kepada wujud yang ada dibawahnya, sehingga memberikan pemahaman bahwa melalui eksistensi dari wujud yang sempurna tersebut maka kemudian secara mutlak memberikan eksistensi terhadap wujud yang tidak sempurna yang ada di bawahnya. Dalam hal ini kemudian memunculkan tingkatan-tingkatan pancaran dalam pola hubungan antara yang sempurna dan tidak sempurna tadi.
Dalam teori emanasi Al Farabi ini (yang sering disalah maknai oleh para komentatornya yang menyamakannya dengan pemikiran para teolog), ia menggunakan pendekatan yang digunakan oleh Neoplatonisme yang besifat monistik yang menjadikan Allah sebagai pencipta yang menciptakan segala sesuatu dari bahan yang sudah ada melalui pancaran. Artinya bahwa Allah menciptakan alam semenjak zaman azali, dimana materinya berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Allah (Tuhan itu) adalah ‘aql, ‘aqil dan ma’qul, dimana Ia disebut ‘aql karena Ia mencipta dan mengatur alam yang beredar menurut aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa sedikit pun ada masalah di dalamnya. Oleh karenanya, maka cara Allah menciptakan alam adalah dengan berta’qul terhadap DzatNya dengan proses sebagai berikut: Allah adalah sesuatu yang sempurna, Ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena hal itu akan membuat dirinya terlalu rendah sebab berhubungan dan memikirkan alam yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan dzatNya (tolong dibedakan antara kata ‘aql dan fikr dalam terminologi Al Quran), sehingga terciptalah energi yang maha dahsyat secara pancaran dan dari energi inilah terjadi akal yang pertama yang memadat dalam bentuk materi. Akal pertama berfikir tentang Allah yang kemudian menghasilkan akal kedua dan berfikir tentang dirinya sehingga menghasilkan langit pertama.
Namun menurut Nurkholis Madjid dalam Sirajuddin Zar (2007: 76-77) dalam mengomentari pandangan Al Farabi, hal tersebut cenderung mengambil dan mempelajari ramuan asing (yang diambil dari doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan sistem kosmologi Ptalomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa Al Farabi hanya mengalihbahasakan pemikiran sebelumnya ke dalam bahasa Arab) terutama agar paham ketuhanannya memberikan kesan tauhid.
Intinya, bahwa dalam pemikiran Al Farabi tentang teori emanasi ini, pancaran (emanasi) yang ada tersebut kemudian melahirkan alam yang qadim dari segi zaman bukan dari segi dzat. Sebab alam dijadikan oleh Allah secara emanasi sejak zaman azali tanpa diselingi oleh waktu, namun alam tersebut hanyalah berupa hasil ciptaan yang oleh karenanya menjadikannya bersifat baharu.
Sumber : Madkour, Ibrahim, 1992, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy, alih bahasa Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung.

0 komentar on "Ontologi Al Farabi"

Posting Komentar