1.
Logika.
Menurut
kaum Stoa, logika maksudnya memperoleh kriteria tentang kebenaran. Dalam hal
ini, mereka memiliki kesamaan dengan Epikuros. Apa yang dipikirkan tak lain
dari yang telah diketahui pemandangan. Buah pikiran benar, apabila pemandangan
itu kena, yaitu memaksa kita membenarkannya. Pemandangan yang benar ialah suatu
pemandangan yang menggambarkan barang yang dipandang dengan terang dan tajam.
Sehingga orang yang memandang itu terpaksa membanarkan dan menerima isinya.
Apabila
kita memandang sesuatu barang, gambarannya tinggal dalam otak kita sebagai
ingatan. Jumlah ingatan yang banyak menjadi pengalaman. Kaum Stoa bertentangan
pendapatnya dengan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles pengertian
itu mempunyai realita, ada pada dasarnya. Ingat misalnya ajaran Plato tentang
idea. Pengertian umum, seperti perkumpulan, kampung, binatang dan lain
sebagainya adalah suatu realita, benar adanya. Sedangkan menurut kaum Stoa,
pengetian umum itu tidak ada realitanya, semuanya itu adalah cetakan pikiran
yang subjektif untuk mudah menggolongkan barang-barang yang nyata. Hanya
barang-barang yang kelihatan yang mempunyai realita, nyata adanya. Seperti
orang laki-laki, orang perempuan, kuda putih, kucing hitam adalah suatu realita.
Pendapat kaum Stoa ini disebut dalam filsafat pendapat nominalisme, sebagai
lawan dari realisme.
2.
Fisika.
Fisika
kaum Stoa tidak saja memberi pelajaran tentang alam, tetapi juga meliputi
teologi. Zeno sebagai pendiri Stoa, menyamakan Tuhan dengan dasar pembangun.
Dasar pembangun ialah api yang membangun sebagai satu bagian daripada alam.
Tuhan itu menyebar ke seluruh dunia sebagai nyawa, seperti api yang membangun
menurut sesuatu tujuan. Semua yang ada tak lain dari api dunia itu atau Tuhan
dalam berbagai macam bentuk.
Menurut
mereka dunia ini akan kiamat dan terjadi lagi berganti-ganti. Pada akhirnya
Tuhan menarik semuanya kembali padanya, oleh karena itu pada kebakaran dunia
yang hebat, itu semuanya menjadi api. Dari api Tuhan itu, terjadi kembali dunia
baru yang sampai kepada bagiannya yang sekecil-kecilnya serupa dengan dunia
yang kiamat dahulu.
3.
Etik.
Inti
dari filsafat Stoa adalah etiknya. Maksud etiknya itu ialah mencari dasar-dasar
umum untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian malaksanakan dasar-dasar
itu dalam penghidupan. Pelaksanaan tepat dari dasar-dasar itu ialah jalan untuk
mengatasi segala kesulitan dan memperoleh kesenangan dalam penghidupan. Kaum
Stoa juga berpendapat bahwa tujuan hidup yang tertinggi adalah memperoleh
“harta yang terbesar nilainya”, yaitu kesenangan hidup. Kemerdekaan moril
seseorang adalah dasar segala etik pada kaum Stoa.
Sumber :
Drs. Atang Abdul Hakim, M.A & Drs. Beni Ahmad
Saebani, M.si. Filsafat Umum "Dari Metologi sampai
Teofilosofi". Bandung:Pustaka Setia, 2008.
0 komentar:
Posting Komentar