Ibnu Maskawaih - Filosuf Muslim

Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M.
Ditinjau dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara’) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M.
‘Adhud Al-Daulah amat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa itu jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi, disamping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Riwayat pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat sya’ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Diduga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Pemikiran filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanyaAtau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah “bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”.
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 26 Desember 2016

Ibnu Maskawaih - Filosuf Muslim

Diposting oleh Unknown di 04.49
Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M.
Ditinjau dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara’) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M.
‘Adhud Al-Daulah amat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa itu jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi, disamping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Riwayat pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat sya’ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Diduga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Pemikiran filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanyaAtau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah “bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”.
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.

0 komentar on "Ibnu Maskawaih - Filosuf Muslim"

Posting Komentar