Pemikiran etika Hegel merupakan sintesis dari etika Aristoteles dan etika
Kant. Menurut Aristoteles, hidup etis terlaksana dalam
partisipasi dalam kehidupan polis (negara kota). Jadi berpolitik, dalam
arti partisipasi, dan beretika adalah sama. Sedangkan
Kant membedakan secara tajam antara hukum (legalitas) dan moralitas. Bagi Kant,
hukum adalah tatanan normatif lahiriah masyarakat. Dalam arti bahwa ketaatan
yang dituntut olehnya adalah ketaatan lahiriah, sedangkan motivasi batin tidak
termasuk. Maka taat hukum belum mencerminkan moralitas. Sedangkan moralitas
adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum yang tertulis dalam
hati manusia. Suatu tindakan hanya dianggap bermoral kalau diambil secara
otonom, berdasarkan kesadaran sendiri tentang kewajiban. Kriteria mutu moral
seseorang adalah kesetiaannya terhadap suara hatinya sendiri. Setiap orang
tidak hanya berhak, melainkan berkewajiban untuk senantiasa mengikuti suara
hatinya.
Hegel menempatkan diri atas paham moralitas otonom yang dikembangkan Kant.
Namun ia sekaligus kritis terhadap Kant. Baginya posisi Kant adalah abstrak
karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya selalu sudah
bergerak dalam ruang yang ditentukan oleh struktur sosial yang mewadahi
tuntunan moral. Namun ia tidak sekadar kembali ke Aristoteles. Ia kembali,
tetapi di satu level dialektis lebih tinggi. Dengan menempatkan fenomen
moralitas ke dalam kerangka sebuah filsafat sejarah yang luas, Hegel mampu
mengatasi keabstrakan Kant dan sekaligus menempatkan legitimasi struktur sosial
itu ke tingkat yang lebih tinggi. Sittlichkeit dipahaminya sebagai tatanan
sosial moral yang terwujud dalam lembaga-lembaga kehidupan kemasyarakatan
manusia.
Inti filsafat sejarah Hegel adalah gerak perkembangan ke arah kebebasan
yang semakin besar. Kebebasan manusia bukan sekadar sikap otonomi batin,
melainkan merupakan hakikat seluruh kerangka sosial di dalamnya manusia
merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga
lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu hukum,
moralitas individu, dan tatanan sosial-moral (sittlichkeit). Tiga
lembaga ini merupakan tiga tahap pengembangan gagasan kehendak yang pada
dirinya sendiri dan bagi dirinya sendiri bebas. Hukum adalah
eksistensi langsung (pertama) yang diambil kebebasan secara langsung. Contoh
utamanya adalah hak milik pribadi. Dalam hak milik pribadi kebebasan kehendak
diakui oleh karena benda yang merupakan milik seseorang diakui dan dijamin
sebagai itu. Namun hukum adalah hal yang semata-mata formal dan lahiriah karena
tidak melihat kekhususan pribadi yang bersangkutan, seperti motivasi, kehendak
dan maksud-maksud pribadi.
Moralitas adalah negasi dialektik hukum. Subjek yang bermoral tidak tunduk
kepada hukum yang dipasang dari luar, melainkan kepada hukum yang disadari
dalam hati. Dalam moralitas manusia bebas dari heteronomi, menjadi
otonomi. Moralitas adalah lingkaran kehendak subjektif yang mempertahankan diri
secara otonom berhadapan dengan dunia luar. Maka kebebasan sekarang tidak lagi
terikat pada benda, hak milik, melainkan hanya dapat menjadi nyata dalam
kehendak sebagai kehendak subjektif. Tetapi moralitas pun bagi Hegel
masih abstrak karena hanya ada dalam kebatinan murni dan tidak mengacu pada struktur-struktur
objektif dunia luar. Tidak cukup mengatakan kepada seseorang, ikutilah suara
hatimu, karena suara hati sendiri masih memerlukan orientasi. Suara hati hanya
membunyikan perintah untuk melakukan apa yang benar. Tapi yang benar sendiri
itu apa? Menurut Hegel yang benar adalah yang rasional, dan yang rasional itu
digariskan melalui struktur realitas sosial, yang oleh Hegel disebut sittlichkeit (diartikan
Frans Magnis Suseno sebagai tatanan sosial-moral).
sumber :
Franz Magnis-Suseno. Filsafat
sebagai ilmu kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
0 komentar:
Posting Komentar