Neo-Positivisme dan Pendidikan

Prof. M. Nasroen, S.H mengatakan filsafat itu adalah sebuah dari corak usaha manusia dalam menghadapi, memecahkan dan menundukkan masalah yang mengenai ada dan hidupnya, yaitu yang akan memberikan kepuasan bagi dirinya. Falsafah itu adalah ciptaan dari manusia, sebagai satu kesatuan tetap dalam falsafah ini. Dalam dunia filsafat timbul berbagai aliran, seiring zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman, salah satunya apa yang dikenal dengan filsafat Neo-Positivisme.
Aliran yang paling berpengaruh pada abad ini adalah positivisme, dengan tokohnya Auguste Comte(1798-1857). ).Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik . Dalam usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog.Claude-Henri de Saint Simon (1760-1825) salah satu filsuf abad ke-19 menerima Auguste Comte sebagai sekretarisnya, dan pemikiran Saint Simon memengaruhi perkembangan intelektual Comte. Pada tahun 1826 Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Karya yang paling terkenal dari Auguste Comte adalah  Course of Positive Philosophy (Cours de philosophie positive). 
Positivisme diperkenalkan oleh Comte,  istilah positivisme  berasal dari kata “positif”. Positivisme pada dasarnya  adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman faktual. Dengan filsafat Comte mengartikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep mahusia, sedangkan positif  diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati.   Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni yang melampaui fenomena yang teramati. Menurut Comte bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.
Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. Empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, sedangkan positivisme menolaknya sama sekali. Comte menganggap  bahwa pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi (Hardiman, F. Budi, 2011).
Aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1.   Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.    Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3.   Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis. Positivisme logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun1920-an. Lingkaran Wina merupakan kelompok neo-positivisme (positivisme logis) yang melanjutkan proyek positivisme. Pada umumnya disebut juga mazhab “wina”  atau “kring wina” kaum neo-positivisme semenjak semula telah  membentuk suatu mazhab, malah pernah dikatatakan orang suatu sekte yang tidak bebas pula dari kesempitan hati seperti sudah ghaibnya, terdapat pada sekte-sektenya. Neo-positivisme berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Kaum neo-positivisme semenjak semula telah membentuk suatu mazhab, malah pernah dikatakan orang suatu sekte yang tidak bebas pula dari kesempitan hati seperti sudah galibnya, terdapat pada sekte-sekte. Kaum neo positivis mempunyai keyakinan bahwa filsafat sebagai ilmu hanya “aman” dalam tangan mereka sendiri dan bahwa tiap orang mempelajari filsafat menurut cara lain mungkin ada mengerjakan sesuatu yang sangat penting dan luhur, tetapi bahkan mengerjakan sesuatu secara ilmu. 
Nama “neo-positivisme” telah menyatakan bahwa seperti halnya “neo-kantianisme” berhadapan dengan suatu pergerakan yang merupakan suatu lanjutan dari aliran-aliran yang lama. Yang diteruskannya. Menurut E.Von Aster; “neo-positivisme mempunyai dua akar utama, yang satu adalah reaksi terhadap aliran metafisika, yang kedua adalah neo positivisme terletak dalam perkembangan ilmu pasti dan ilmu alam modern. Neo-positivisme cenderung untuk menumbuhkan pengetahuan dengan bahan ilmu alam dan menyerahkan pertanyaan-pertanyaan tentang makna saja untuk dianalisis oleh filsafat. Hal-hal yang merupakan fakta-fakta dikatakan temasuk bidang ilmu. Hanya analisis tentang bahasa dan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dan verifikasi yang mengiringinya, yang tetap diakui termasuk lingkungan filsafat. Pendekatan yang radikal semacam ni membatasi jumlah masalah filsafat yang banyak itu menjadi hanya meliputi lapangan-lapangan tertentu dari epistemologi disamping logika. Sebagai konsekuensinya penganut neo positivisme sepaham untuk menolak gagasan bahwa filsafat dapat mempersoalkan tentang kenyataan sebagai keseluruhan atau bahkan menolak usaha filsafat.  Untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang kenyataan penolakan ini dilakukan dengan dua cara yakni:
1. Dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi.
2. Dengan menganalisa bahasa, dan berusaha menunjukan betapa kita dapat terpedaya oleh struktur bahasa. 

Penganut neo-positivisme mengatakan, satu-satunya corak pengamatan yang relevan ialah pengematan inderawi.. bilamana “ukuran dapat diverifikasi” tidak dapat diterapkan, maka tidak mungkin ada makna, dan pernyataan yang dipertimbangkan dikatakan “tiada bermakna”. Banyak diantara penganut neo positivisme menegaskan tentang pentingnya kalimat-kalimat emotif, meskipun kalimat-kalimat tersebut tidak berisi makna.

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 26 Desember 2016

Neo-Positivisme dan Pendidikan

Diposting oleh Unknown di 00.08
Prof. M. Nasroen, S.H mengatakan filsafat itu adalah sebuah dari corak usaha manusia dalam menghadapi, memecahkan dan menundukkan masalah yang mengenai ada dan hidupnya, yaitu yang akan memberikan kepuasan bagi dirinya. Falsafah itu adalah ciptaan dari manusia, sebagai satu kesatuan tetap dalam falsafah ini. Dalam dunia filsafat timbul berbagai aliran, seiring zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman, salah satunya apa yang dikenal dengan filsafat Neo-Positivisme.
Aliran yang paling berpengaruh pada abad ini adalah positivisme, dengan tokohnya Auguste Comte(1798-1857). ).Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik . Dalam usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog.Claude-Henri de Saint Simon (1760-1825) salah satu filsuf abad ke-19 menerima Auguste Comte sebagai sekretarisnya, dan pemikiran Saint Simon memengaruhi perkembangan intelektual Comte. Pada tahun 1826 Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Karya yang paling terkenal dari Auguste Comte adalah  Course of Positive Philosophy (Cours de philosophie positive). 
Positivisme diperkenalkan oleh Comte,  istilah positivisme  berasal dari kata “positif”. Positivisme pada dasarnya  adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman faktual. Dengan filsafat Comte mengartikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep mahusia, sedangkan positif  diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati.   Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni yang melampaui fenomena yang teramati. Menurut Comte bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.
Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. Empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, sedangkan positivisme menolaknya sama sekali. Comte menganggap  bahwa pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi (Hardiman, F. Budi, 2011).
Aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1.   Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.    Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3.   Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis. Positivisme logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun1920-an. Lingkaran Wina merupakan kelompok neo-positivisme (positivisme logis) yang melanjutkan proyek positivisme. Pada umumnya disebut juga mazhab “wina”  atau “kring wina” kaum neo-positivisme semenjak semula telah  membentuk suatu mazhab, malah pernah dikatatakan orang suatu sekte yang tidak bebas pula dari kesempitan hati seperti sudah ghaibnya, terdapat pada sekte-sektenya. Neo-positivisme berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Kaum neo-positivisme semenjak semula telah membentuk suatu mazhab, malah pernah dikatakan orang suatu sekte yang tidak bebas pula dari kesempitan hati seperti sudah galibnya, terdapat pada sekte-sekte. Kaum neo positivis mempunyai keyakinan bahwa filsafat sebagai ilmu hanya “aman” dalam tangan mereka sendiri dan bahwa tiap orang mempelajari filsafat menurut cara lain mungkin ada mengerjakan sesuatu yang sangat penting dan luhur, tetapi bahkan mengerjakan sesuatu secara ilmu. 
Nama “neo-positivisme” telah menyatakan bahwa seperti halnya “neo-kantianisme” berhadapan dengan suatu pergerakan yang merupakan suatu lanjutan dari aliran-aliran yang lama. Yang diteruskannya. Menurut E.Von Aster; “neo-positivisme mempunyai dua akar utama, yang satu adalah reaksi terhadap aliran metafisika, yang kedua adalah neo positivisme terletak dalam perkembangan ilmu pasti dan ilmu alam modern. Neo-positivisme cenderung untuk menumbuhkan pengetahuan dengan bahan ilmu alam dan menyerahkan pertanyaan-pertanyaan tentang makna saja untuk dianalisis oleh filsafat. Hal-hal yang merupakan fakta-fakta dikatakan temasuk bidang ilmu. Hanya analisis tentang bahasa dan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dan verifikasi yang mengiringinya, yang tetap diakui termasuk lingkungan filsafat. Pendekatan yang radikal semacam ni membatasi jumlah masalah filsafat yang banyak itu menjadi hanya meliputi lapangan-lapangan tertentu dari epistemologi disamping logika. Sebagai konsekuensinya penganut neo positivisme sepaham untuk menolak gagasan bahwa filsafat dapat mempersoalkan tentang kenyataan sebagai keseluruhan atau bahkan menolak usaha filsafat.  Untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang kenyataan penolakan ini dilakukan dengan dua cara yakni:
1. Dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi.
2. Dengan menganalisa bahasa, dan berusaha menunjukan betapa kita dapat terpedaya oleh struktur bahasa. 

Penganut neo-positivisme mengatakan, satu-satunya corak pengamatan yang relevan ialah pengematan inderawi.. bilamana “ukuran dapat diverifikasi” tidak dapat diterapkan, maka tidak mungkin ada makna, dan pernyataan yang dipertimbangkan dikatakan “tiada bermakna”. Banyak diantara penganut neo positivisme menegaskan tentang pentingnya kalimat-kalimat emotif, meskipun kalimat-kalimat tersebut tidak berisi makna.

0 komentar on "Neo-Positivisme dan Pendidikan "

Posting Komentar