Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara
terminologi yaitu:
Menurut Rudolph Carnap, filsafat
analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur
gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa
ilmu yang semata-mata formal. Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik
bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam
bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.
Didalam kamus populer filsafat,
filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran
Wina. filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik.
Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang
berlaku dalam ilmu elsakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya
harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti
tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi).
Filsafat analitik adalah suatu
gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang
memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa
pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau
bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan
singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang
pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik
atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual. Filsafat analitik sendiri,
secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan
menggunakan analisis bahasa.
Bilamana dikaji perkembangan
filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak
munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung
sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase
pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana
filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. kedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan
Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad
pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat,
hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang
meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini
berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini
ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa
merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian filsafat terhadap bahasa
sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu
ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam
semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh
minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di
atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih
tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu
ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan.
Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda
material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah
dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini
kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka
medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi.
Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan
“jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda
itu satu”. Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari filsafat alam
kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat bahasa mulai berkembang
pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin
linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas
si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut
mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk
unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara
si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep
tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung
referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.
Filsafat abad modern memberikan
dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan
rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan
pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan
otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam
pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel
kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat
analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui
ungkapan bahasa.
0 komentar:
Posting Komentar