Pengertian filsafat bahasa (Analitik) dan perkembangannya
Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara
terminologi yaitu:
Menurut Rudolph Carnap, filsafat
analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur
gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa
ilmu yang semata-mata formal. Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik
bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam
bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.
Didalam kamus populer filsafat,
filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran
Wina. filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik.
Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang
berlaku dalam ilmu elsakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya
harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti
tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi).
Filsafat analitik adalah suatu
gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang
memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa
pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau
bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan
singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang
pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik
atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual. Filsafat analitik sendiri,
secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan
menggunakan analisis bahasa.
Bilamana dikaji perkembangan
filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak
munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung
sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase
pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana
filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. kedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan
Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad
pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat,
hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang
meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini
berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini
ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa
merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian filsafat terhadap bahasa
sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu
ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam
semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh
minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di
atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih
tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu
ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan.
Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda
material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah
dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini
kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka
medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi.
Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan
“jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda
itu satu”. Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari filsafat alam
kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat bahasa mulai berkembang
pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin
linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas
si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut
mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk
unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara
si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep
tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung
referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.
Filsafat abad modern memberikan
dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan
rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan
pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan
otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam
pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel
kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat
analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui
ungkapan bahasa.
Bertrand Russel - Filsafat Analitik
Bertrand Russel (1872-1970) lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4
tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah
orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain
pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya.
Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali, 71 buku dan
brosur) tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral,
pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah
Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena
pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut
ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut
dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume. Bagi Russell,
dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini,
kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat
tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig
Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia
sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme
logis pada dekade 1920-30 an.
Jalan pemikiran Russell ini
menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti.
Russerl menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta,
bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan prinsip dasarnya, yaitu:
ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta dengan bahasa, dan dunia ini
merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russerl
merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.
Ia berpendapat bahwa grammar dari
bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri
dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis
inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia
berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis
proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi
tersebut. untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan
sintesis logis.
Berdasarkan prinsip-prinsip
pemikiran itulah maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak
didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena
menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu
pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.
Gottlob Frege - Filsafat Analitik
Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege
(1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak
merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya.
Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.
Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan
filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat
‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar
kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang
matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang
implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia
menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan
yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah
deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Salah satu idenya yang paling
berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan
“acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna
hanya apabila mempunyai arti dan acuan.
Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu
kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk
simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk
menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk
jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan
filsafat menjadi ilmu yang ketat.
Filsafat Politik
Filsafat politik telah lahir sejak manusia mulai
menyadari bahwa tata sosial kehidupan bersama bukanlah sesuatu yang terberi
secara alamiah, melainkan sesuatu yang sangat mungkin terbuka untuk perubahan.
Oleh karenaitu, tata politik merupakan produk budaya dan memerlukan justifikasi
filosofis untuk memepertahankannya. Filsafat politik juga seringkali muncul
sebagai tanggapan terhadap situasi krisis zamannya.
Pada era pertengahan, tema relasi antara negara dan
agama menjadi tema utama filsafat politik. Pada era modern,tema pertentangan
antara kekuasaan absolut dan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi
menjadi tema utama refleksi filsafat politik.Menurut Plato, filsafat politik
adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia
dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk
mewujudkan.
Konsep pemikiran Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh
karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara
pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara
adalah cerminan mansia yang menjadi warganya (J.H. Rapar, 2001). Filsafat
politik memberikan penjelasan yang berdasarkan rasio dilihat adanya hubungan
antara sifat dan hakikat dari alam semesta (universe) dengansifat dan hakikat
kehidupan politik di dunia fana ini.
Pokok pikiran dari filsafat politik adalah
bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti
metafisika dan epistemologi harus dipecahkan lebih dahulu sebelum persoalan politik
yang sehari-hari dapat ditanggulangi.
Contoh: Keadilan merupakan hakikat dari alam semesta
sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai kehidupan yang baik yang dicita
- citakan oleh Plato. Filsafat politik erat kaitannya dengan etika
dan filsafat politik. Dalam pembahasan filsafat politik dikaitkan dengan
filsafat politik pendidikan.
Filsafat Politik dan Kesadaran
Filsafat
politik dan filsafat kesadaran berdiri di dalam bayang-bayang definisi filsafat
di atas. Filsafat politik adalah cabang dari filsafat yang hendak memahami
hakekat dari kehidupan politik manusia, dan memberikan arahan tentang cara
menciptakan politik yang mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua.
Filsafat kesadaran adalah cabang filsafat yang hendak memahami hakekat dari
kesadaran manusia. Keduanya menggunakan metode yang bersifat logis, kritis,
rasional, ontologis dan sistematis.
Filsafat politik
hendak menemukan ide dan prinsip yang memungkinkan adanya masyarakat, atau
komunitas, dalam segala bentuknya. Inilah yang disebut sebagai pendekatan
deskriptif di dalam filsafat politik. Pendekatan ini nantinya berkembang
menjadi ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, politik, hukum dan ilmu
budaya. Namun, filsafat politik tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga
normatif: ia menawarkan prinsip-prinsip yang memungkinkan suatu komunitas
mencapai perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.
Dua prinsip yang
penting di dalam filsafat politik, yakni keadilan dan kesetaraan. Ada beragam
arti dari konsep keadilan dan kesetaraan. Filsafat politik hendak mengupas dan
mengembangkan beragam arti tersebut, dan melihat kemungkinan penerapannya di
berbagai keadaan. Dua prinsip ini menjadi nyata, ketika ia menjadi prinsip
utama di dalam berbagai institusi publik yang menata keadaan politik sebuah
komunitas.
Filsafat
politik juga memiliki ciri kritis. Ia tidak pernah puas dengan satu jawaban.
Tidak ada jawaban final. Yang ada adalah proses diskusi terus menerus, sehingga
pandangannya bisa terus menyesuaikan dengan keadaan dunia yang terus berubah
dengan cepat sekarang ini.
Corak Filsafat Bangsa Yunani
Jika dilihat
kebelakang corak filsafat bangsa Yunani, maka sudah barang tentu bukan melihat
keruntuhan Yunani yang telah lama ditinggalkan. Di sini yang akan
ditinjau dan dipahami serta yang dihadapi adalah unsur-unsur yang sebagian
besar menjadi fondasi bangunan untuk kultur modern. Contohnya adalah jika
dirunut jalan pikiran yang logis, maka mau tak mau adalah meneruskan tradisi
yang diwarisi dari orang Yunani. Bertolak dari itu, apabila diamati secara seksama,
maka betapa banyak kategori pikiran yang dipakainya sekarang. Oleh sebab itu
dengan tidak disadarinya bahwa perkembangan sekarang ini berasal dari
kebudayaan Yunani atau setidak tidaknya orang Yunani memberikan landasannya.
Untuk seorang filsuf atau ahli di bidang filsafat,
sudah tentu banyak alasan untuk menaruh perhatian kepada filsafat Yunani.
Ditinjau secara kronologis adanya filsafat (filsafat Barat) seluruhnya, maka era
filsafat purba jaman Yunani mempunyai kedudukan istimewa, sebab di Yunani
ditemui munculnya filsafat itu sendiri. Jadi mempelajari filsafat Yunani
artinya menyaksikan kelahiran filsafat itu sendiri, sehingga tidak ada
pemahaman filsafat yang lebih ideal kecuali studi tentang pertumbuhan pemikiran
filsafat di negeri Yunani. Hal ini pernah
dikatakan oleh Alfred Whitehead seorang filsuf modern mengenai Plato sebagai
berikut: “All Western philosophy is but a series of footnes to Plato”.
Bila dilihat secara harafiah tampaknya kata kata ini sangat melebih lebihkan
pada diri Plato, namun sebenarnya tidak, sebab pada Plato dan umumnya dalam
seluruh filsafat Yunani tetap berjumpa dengan problem problem filsafat yang
masih dipersoalkan sampai masa kini. Tema-tema filsafat Yunani,
seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”, “kebenaran”, “jiwa”,
“pengenalan”, dan “Tuhan” merupakan tema-tema pula bagi filsafat secara
umum.Begitu pula para filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan
pemikiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul
dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam
kalangan mereka.
Bicara tentang
filsafat ciptaan Yunani tampaknya tidak boleh menghindar bahwa sebenarnya mengalami
banyak kesulitan. Banyak orang mengatakan bahwa pembicaraan periode filsafat
purba Yunani ini adalah “The early Greek period is more a field for
fancy than for fact”. Jadi kesulitan kesulitannya berasal dari
keadaan sumber, karena pikiran dari para filsufnya di mana disimpan untuk bisa
ditemukan dan dipelajarinya. Di samping itu, ada juga beberapa filsuf Yunani
yang tidak pernah menulis satu barispun, misalnya Thales, Pythagoras, dan
Sokrates. Sehingga untuk mengetahui jalan pikiran mereka terpaksa harus percaya
dari kesaksian orang lain yang berbicara tentang ajaran mereka, seperti percaya
pada tulisan dan pembicaraan para murid ataupun teman sejawatnya. Selain itu, ada
filsuf filsuf yang meskipun menulis satu karangan atau lebih, namun tulisan itu
sudah hilang entah di mana, sehingga harus merasa puas dengan beberapa fragmen
yang telah dikutip oleh para pengarang lain dengan kesaksian isi ajaran mereka.
Disinilah problem muncul, yaitu kesaksian bagaimana yang harus dipercaya
tentang pikiran filsuf dimaksud. Problem tentang sumber atau refrensi terutama
muncul apabila yang dibicarakan adalah para filsuf yang mendahului Sokrates dan
karenanya filsufnya pun lalu dijuluki “filsuf filsuf pra-Sokratik”. Meskipun
banyak ditemui banyak kesulitan, namun masih bisa dibilang beruntung, karena
mendapati sumber sumber yang jauh lebih memuaskan untuk ketiga karya filsuf
Yunani yang dibilang besar, yaitu Plato, Aristoteles, dan Plotinus.
Filsafat Hasil Pikiran Para Filsuf Miletos
Miletos sebagai kota
tempat lahirnya filsafat (filsafat Barat), konon ceritanya juga tempat lahirnya
tujuh orang bijaksana. Ketujuh orang bijaksana dimaksud memang tidak banyak
yang diketahui siapa saja namanya, meskipun waktunya diketahui yaitu kira kira abad
ke-6 s. M. Dalam berita berita yang didengar banyak orang pada waktu itu, namun
tentang nama namanya pun berganti ganti dan berbeda beda. Meskipun banyak orang
mengatakan berbeda beda, tetapi nama Thales dari Miletos tetap disebut sebut,
sehingga ia tetap diingat sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana
dimaksud. Hanya saja tentang Thales
banyak dongeng yang beredar dan kurang dapat dipercaya. Tentang fakta dan data
Thales semasa hidupnya, dapat diketahui dari tokoh sejarawan Herodotos yang
hidup kira kira abad ke-5 s. M, namun Thales tidak disebutnya dengan nama
“filsuf” dan tidak menceritakannya bahwa ia sebagai filsuf . Baru kemudian
Aristoteles seorang filsuf yang hidup sekitar abad ke-4 s. M mengatakan secara
tegas dan mengenakan gelar kepada Thales “filsuf yang pertama”.
Satu hal yang perlu
diingat, bila Thales tidak pernah menulis pikiran pikirannya atau tentang
karyanya pun hampir tidak ada kesaksiannya. Oleh sebab itu, satu satunya sumber
yang bisa dipercaya yaitu dari karya Aristoteles, meskipun ia memperoleh
informasi hanya tradisi lisan saja. Salah satu contoh yaitu dalam traktat
Aristoteles tentang “metafisika” yang mengatakan bahwa “Thales termasuk filsuf
yang mencari arkhe (asas atau prinsip) alam semesta”, dan
Thales adalah yang pertama di antara sesama filsuf se angkatannya. tentang
psikologi memberitahukan pula bahwa menurut Thales “kesemuanya penuh dengan
allah allah”. Aristoteles memperkirakan bila yang dimaksud perkataan Thales itu
bahwa jagad raya itu berjiwa. Jika hal itu memang benar, maka yang dikatakan
oleh Thales itu tentu mengandung arti bahwa magnit mempunyai jiwa, sehingga
mampu menggerakkan besi. Pendapat Thales bahwa jagad raya berjiwa, sering kali
lalu disebut “teori mengenai materi yang hidup” (Yunani: hylezoisme)
Pendapat lain tentang
prinsip pertama atau dalam istilah Yunani adalah arkhe alam semesta,
dikemukakan oleh seorang filsuf lain, yaitu Anaximandros. Anaximandros mengatakan bahwa dunia timbul dari yang
tak terbatas karena suatu penceraian (Yunani: ekkrisis). Prosesnya yaitu
dilepaskan dari apeiron itu unsur unsur yang berlawanan (Yunani: ta enantia)
berupa unsure panas dan unsure dingin, unsure kering dan unsure basah.
Unsur-unsur itu selalu berperang antara yang satu dengan yang lain. Misalnya
musim panas selalu mengalahkan musim dingin dan dsebaliknya, tapi bilamana satu
unsure menjadi dominant, maka karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia),
maka keseimbangan neraca harus dipulihkan kembali.
Filsuf lain yang
mencari prinsip fundamental atau yang disebut arkhe dari alam
semesta adalah Anaximenes. Tentang tanggal kelahiran Anaximenes tidak diketahui
secara pasti, namun yang jelas bahwa ia lebih muda dari Anaximandros.
Anaximenes tidak menerima pandangan dari Anaximandros, karena menurutnya
bagaimana mungkin hal yang tak terbatas (to apeiron) dapat menjadi asas
yang pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya. Anaximenes mengatakan bahwa prinsip pertama yang
merupakan asal usul alam semesta beserta isinya adalah udara. Hal ini dengan
dasar bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan tubuh makluk hidup, terutama
manusia, demikian pula udara melingkupi segala galanya. Jiwa sendiri menurut
Anaximenes juga udara yang dipupuk dengan bernafas.
Ajaran filsuf filsuf
dari Ionia yang pertama bisa disebut “filsafat alam”, karena perhatian mereka
selalu dipusatkan pada alam. Alam senantiasa dalam keadaan perubahan, seperti
malam mengganti siang, bulan terang mengganti bulan gelap, laut pasang kemudian
surut, musim panas dilanjutkan musim dingin, dan lain sebagainya. Hal ini boleh ditambah
yaitu bahwa rasa heran itu sebenarnya juga merupakan latar belakang mite
mite kosmogonis dan mite mite kosmologis,namun
filsuf filsuf dari Miletos untuk kali pertamanya memberi jawaban secara
rasional atas problematic yang disodorkan oleh alam semesta. Hal inilah yang
menjadi preatasi luar biasa hebatnya bagi filsuf Miletos, meskipun banyak
unsure dari pemikiran mereka yang kedengarannya naĆÆf bagi telinga orang masa
kontemporer ini.
Hasil pemikiran para filsuf pertama
kiranya dapat disimpulkan dalam tiga ucapan yaitu:
1. Alam semesta merupakan
keseluruhan yang bersatu, akibatnya maka harus diterangkan dengan menggunakan
satu prinsip saja, meskipun dalam memilih satu prinsip zat asali itu antara
filsuf yang satu dengan filsuf lain berbeda dalam mengartikan kesatuan dunia.
2. Alam semesta dikuasai oleh suatu hokum. Oleh sebab
itu, kejadian kejadian dalam alam semesta tidak merupakan kebetulan, melainkan
ada semacam keharusan di belakang kejadian kejadiannya.
3. Sebagai akibatnya, maka alam semesta merupakan kosmos.
Katakosmos adalah istilah dari Yunani, maka boleh
diterjemahkan sebagai “dunia”, namun akan lebih tepat lagi apabila
diterjemahkan “dunia yang teratur”. Jadi bagi orang Yunani, kosmos bertentangan
dengan khaos artinya dunia dalam keadaan kacau balau (Bertens,
1987: 33).
Sejarah Filsafat Yunani
Orang yunani yang
hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem kepercayaan bahwa segala sesuatunya
harus diterima sebagai sesuatu yang bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng.
Artinya suatu kebenaran lewat akal pikir (logis) tidak berlaku, yang berlaku
hanya suatu kebenaran yang bersumber dari mitos (dongeng-dongeng).
Setelah abad ke-6 SM
muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Mereka menginginkan
adanya pertanyaan tentang isteri alam semesta ini, jawabannya dapat diterima
akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitiologi, artinya
suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan
hal-hal yang sifatnya mitologi.upaya para ahli pikir untuk mengarahkan kepada
suatu kebebasan berfikir , ini kemudian banyak orang mencoba membuat suatu
konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni, maka timbullah
peristiwa ajaib The Greek Miracle yang artinya dapat dijadikan
sebagai landasan peradaban dunia.
Pelaku filsafat
adalah akal dan musuhnya adalah hati. Pertentangan antara akal dan hati itulah
pada dasarnya isi sejarah filsafat. Di dalam sejarah filsafat kelihatan akal
pernah menang, pernah kalah, hati pernah berjaya, juga pernah kalah, pernah
juga kedua-duanya sama sama-sama menang. Diantara keduanya , dalam sejarah,
telah terjadi pergugumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan
manusia.
Yang dimaksud dengan
akal disini ialah akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati adalah
rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada.akal itulah yang menghasilkan
pengethauan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya
menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk
disini. Ciri umum filsafat yunani adalah rasionalisme yang dimana mencapai puncaknya
pada orang-orang sofis.
Dalam sejarah
filsafat biasanay filsafat yunani dimajukan sebagai pangkal sejarah filsafat
barat, karena dunia barat (Erofa Barat) dalam alam pikirannya berpangkal kepada
pemikiran yunani. Pada masa itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya
alam semesta serta dengan penghuninya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan
kepercayaan. Ahli-ahli pikir tidka puas akan keterangan itu lalu mencoba
mencari keterangan melalui budinya. Mereka menanyakan dan mencari jawabannya
apakah sebetulnya alam itu. Apakah intisarinya? Mungkin yang beraneka warna ynag
ada dalam alam ini dapat dipulangkan kepada yang satu. Mereka mencari inti
alam, dengan istilah mereka : mereka mencari arche alam (arche dalam
bahasa yunani yang berarti mula, asal).
Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat yunani
ini lahir, yaitu:
1.
Bangsa yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana
mitos dianggap sebagai awal dari uapaya orang untuk mengetahui atau mengerti.
Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara
kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair
karya Homerus, Orpheus dan lain-lain.
2.
Karya sastra yunani yang dapt dianggap sebagai
pendorong kelahiran filsafat yunani, karya Homerous mempunyai kedudukan yang
sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang yunani yang didalamnya
mengandung nilai-nilai edukatif.
3.
Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari
Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, kemudian berkat kemampuan dan
kecakapannya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan sehingga mereka mempelajarinya
tidak didasrkan pada aspek praktis saja, tetapi juga aspek teoritis kreatif.
Dengan adanya ketiga faktor tersebut, kedudukan mitos
digeser oleh logos (akal), sehingga setelah pergeseran tersebut filsafat lahir.
Periode
yunani kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian, karena
pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam, dimana arah
dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati sekitarnya.mereka membuat
pertanyaan-pertanyaan tentang gejala alam yang bersifat filsafati (berdasarkan
akal pikir) dan tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama
dari alam semesta (arche) yang sifatnya mutlak, yang berada di belakang segala
sesuatu yang serba berubah.
Para
pemikir filsafat yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota
perantauan Yunani yang terletak di pesisir Asia Kecil. Mereka kagum terhadap
alam yang oleh nuansa dan ritual dan berusaha mencari jawaban tas apa ynag ada
di belakang semua materi itu.
ZAMAN ABAD PERTENGAHAN
Abad Pertengahan ditandai dengan
tampilnya para teolog di lapangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa ini
hampir semua adalah para teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan
aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah
ancilla theologia atau abdi agama. Namun demikian harus diakui bahwa banyak
juga temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa ini. Periode Abad
Pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan
itu terutama terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama Kristen yang
diajarkan oleh Nabi Isa as. pada permulaan Abad Masehi membawa perubahan besar
terhadap kepercayaan keagamaan.
Pada zaman ini kebesaran kerajaan Romawi
runtuh, begitu pula dengan peradaban yang didasakan oleh logika ditutup oleh
gereja dan digantikan dengan logika keagamaan. Agama Kristen menjadi problema
kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran
yang sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani Kuno yang mengatakan bahwa
kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya
wahyu. Pada zaman itu akademia Plato di Athena ditutup meskipun ajaran-ajaran
Aristoteles tetap dapat dikenal. Para filosof nyaris begitu saja menyatakan
bahwa Agama Kristen adalah benar.
Mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani
ada dua: Golongan yang menolak sama sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran
Yunani merupakan pemikiran orang kafir, karena tidak mengakui wahyu. Menerima
filsafat Yunani yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan,
kebijaksanaan manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan.
Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati maka akal dapat dibantu
oleh wahyu.
Filsafat pada zaman Abad Pertengahan
mengalami dua periode, yaitu: Periode Patristik, berasal dari kata Latin patres
yang berarti bapa-bapa Gereja, ialah ahli-ahli agama Kristen pada abad
permulaan agama Kristen. Periode ini mengalami dua tahap: 1) Permulaan agama
Kristen. Setelah mengalami berbagai kesukaran terutama mengenai filsafat
Yunani, maka agama Kristen memantapkan diri. Keluar memperkuat gereja dan ke
dalam menetapkan dogma-dogma. 2) Filsafat Agustinus yang merupakan seorang
ahli filsafat yang terkenal pada masa patristik. Agustinus melihat dogma-dogma
sebagai suatu keseluruhan. Periode Skolastik, berlangsung dari tahun 800-1500
M. Periode ini dibagi menjadi tiga tahap: 1) Periode skolastik awal (abad
ke-9-12), ditandai oleh pembentukan rnetode-metode yang lahir karena hubungan
yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah
persoalan tentang Universalia. 2) Periode puncak perkembangan skolastik (abad
ke-13), ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi oleh Aristoteles akibat
kedatangan ahli filsafat Arab dan Yahudi. Puncak perkembangan pada Thomas
Aquinas. 3) Periode skolastik akhir (abad ke-14-15), ditandai dengan pemikiran
kefilsafatan yang berkembang ke arah nominalisme, ialah aliran yang berpendapat
bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang
umum mengenai adanya sesuatu hal. Pengertian umum hanya momen yang tidak
mempunyai nilai-nilai kebenaran yang objekti.
MASA HELINITIS DAN ROMAWI
Pada zaman Alexander Agung (359-323 SM)
sebagai kaisar Romawi dari Macedonia dengan kekuatan militer yang besar
menguasai Yunani, Mesir, Hingga Syria. Pada masa itu berkembang sebuah
kebudayaan trans nasional yang disebut kebudayaan Hellinistis, karena kekuasaan
Romawi dengan ekspansi yang luas membawa kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi
pada kota-kota Yunani saja, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang
ditaklukkan Alexander Agung. Bidang filsafat, di Athena tetap merupakan suatu
pusat yang penting, tetapi berkembang pula pusat-pusat intelektual lain,
terutama kota Alexandria. Jika akhirnya ekspansi Romawi meluas sampai ke
wilayah Yunani, itu tidak berarti kesudahan kebudayaan dan filsafat Yunani,
karena kekaisaran Romawi pun pintu di buka lebar untuk menerima warisan
kultural Yunani.
Dalam bidang filsafat tetap berkembang,
namun pada saat itu tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh besar kecuali
Plotinus. Pada masa ini muncul beberapa aliran berikut:
Pertama, Sinisme. Menurut paham ini
jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut Logos. Oleh karena itu,
segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari.
Aliran Sinisme merupakan pengembangan dari aliran Stoik.
Kedua, Stoik. Menyatakan penyangkalannya
adanya “Ruh” dan “Materi” aliran ini disebut juga dengan Monoisme dan menolak
pandangan Aristoteles dengan Dualismenya. Ketiga, Epikurime. Segala-galanya
terdiri atas atom-atom yang senantiasa bergerak. Manusia akan bahagia jika mau
mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa. Setiap
tindakan harus dipikirkan akan akibatnya. Aliran ini merupakan pengembangan
dari teori atom Democritus sebagai obat mujarab untuk menghilangkan rasa takut
pada takhayul. Keempat, Neo Platonisme. Paham yang ingin menghidupkan kembali
filsafat Plato. Tokohnya adalah Plotinus. Seluruh filsafatnya berkisar pada
Allah sebagai yang satu. Segala sesuatu berasal dari yang satu dan ingin
kembali kepadanya.
ZAMAN KONTEMPORER (ABAD KE-20 DAN SETERUSNYA)
Di antara ilmu khusus yang dibicarakan oleh para
filsuf, bidang fisika menempati kedudukan yang paling tiggi. Menurut Traut
fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya
mengandung unsur-unsur fundamental yang mernbentuk alam semesta juga
menunjukkan bahwa secara historis hubungan antara fisika dengan flsafat terliht
dalam dua cara. Pertama, persuasi filosafis mengenai metode fisika, dan dalam
interaksi antara pandangan subtasional tentang fisika (misalnya: tentang
materi, kuasa, konsep ruang, dan waktu). Kedua, ajaran filsafat tradisional
yang menjawab fenornena tentang materi, kuasa, ruang, dan waktu. Dengan
demikian, sejak semula sudah ada hubungan yang erat antara filsafat dan fisika.
Fisikawan abad ke-21 adalah Albert Einstain menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Di samping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain, Zaman Kantemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang Mengalami kemajuan sangat pesat.
Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kantemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara rnendalam. Ilmnu kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainya, sehingga dihadirkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dewasa ini dikenal dengan teknolagi kloning.
Fisikawan abad ke-21 adalah Albert Einstain menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Di samping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain, Zaman Kantemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang Mengalami kemajuan sangat pesat.
Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kantemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara rnendalam. Ilmnu kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainya, sehingga dihadirkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dewasa ini dikenal dengan teknolagi kloning.
Al-Ghazali
Memiliki
pemikiran berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu mantq, metafiska dan fisika
yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf yang
menulis tentang kefilsafatan dalam karyanya Maqashid Al Falasifah,
sesudah itu ia menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana
ia bertindak bukan sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh
Islam yang hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya
serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan
agama.
Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup menggugat dirinya
sendiri. Ia jujur, konsekuen dan tegas dalam pendirian. Selalu nengacu pada
kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam. Menurut Al-Ghazali
agama tidak melarang ataupun memerintahkan mempelajari ilmu matematika, karena
ilmu adalah hasil pembuktian pemikiran orang yang tidak bisa diingkari, sesudah
dipahami dan dimengerti. Tetapi ilmu dimaksud menimbulkan 2 keberatan:
(1) Karena
keberatan dan ketelitian ilmu-ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang
mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya, sampaipun dalam
lapangan ketuhanan; (2) Sikap yang timbul dari pemeluk Islam
yang bodoh yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama, harus mengingkari semua
ilmu yang berasal dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka bodoh
semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari
dan dianggap berlawanan dengan syara’.
Lapangan
logika menurut Al-Ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau
dengan kata lain agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi
tentang penyelidikan dalil-dalil pembuktian, qiyas-qiyas (sylogisme),
syarat-sayarat pembuktian (burhan), definisi-definisi dan sebagainya. Semua
persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai
oleh ulama-ulama theologi Islam meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan
kata-katanya. Bahasa yang ditimbulkan oleh logika dari filosuf-filosuf, ialah
karena syarat-syarat pembuktian tersebut juga menjadi pendahuluan dalam
soal-soal ketuhanan (metafisika), sedang sebenarnya tidak demikian.
Ilmu
fisika menurut Al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur
(benda-benda) tunggal, seperti air, hawa tanah dan api: kemudian benda-benda
tersusun seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam, sebab-sebab perubahan dan
pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan langan kedokteran,
yaitu menyelidiki tubuh orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia
yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak diisyaratkan
mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula fisika juga tidak perlu
diingkari, kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan dalam buku Tahafutu
Al Falasifah, yang disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai (tunduk)
kepada Tuhan, tidak bekerja dengan diri sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan
zat pencipta.
Ibnu Maskawaih - Filosuf Muslim
Maskawaih
adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib,
ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan
India, termasuk filsafat Yunani, sangat luas.
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan
nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil
dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam.
Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum
Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya
sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika
orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain
juga sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan
pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan
sebagai bendaharawannya.
Maskawaih
dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis
menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul
Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar
421 H/16 Pebruari 1030 M.
Ditinjau
dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani
Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan
berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah
Al-Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri
(Amir Al-Umara’) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M.
‘Adhud
Al-Daulah amat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa
itu jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan
pujangga. Tetapi, disamping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati
Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah
agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang
etika Islam.
Riwayat
pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis
autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi
yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga
bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya.
Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada
umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari
Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu
membaca dan membuat sya’ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut
diajarkan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada yang mana guru
didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah
ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu
fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan
matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti:
musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Diduga
Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun
menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi
keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk
pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar
perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca
buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu
Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai
bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Pemikiran
filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan,
wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang
cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah
adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai
adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah
“bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara
insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui
kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib
dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”.
Sedangkan
mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya
membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian
teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat
mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya
benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan
bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk
dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Kesempurnaan
moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan
perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang
dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga
perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari
kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia
hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua
bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah
memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
Filsafat Kristen
“Filsafat Kristen” mulanya
disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad
pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman
kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan
agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen
adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas,
Santo Bonaventura, dan lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar
diatas, masih ada beberapa agama lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang
sampai sekarang masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Budha dalam
bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar, atau yang mencapai pencerahan
sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk mengetahui). Budha merupakan gelar
kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan
yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan
untuk merujuk Siddharta Gautama yang dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman
Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan
pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan
lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak
menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir.
Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang
bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan
manusia, dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas
karma yang bagus (tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak
mahir ditinggalkan. Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddhaadalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih
kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya.
Taoisme merupakan
filsafat Laozi dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi
bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk,
tidak terlihat tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua
benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua
benda hidup dan kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan
sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak
berbalah, bersifat lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia adalah
apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme
mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan
teori Yinyang. Yin dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan
sebagai negatif dan positif. Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif
mesti adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong,
tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif dan negatif,
kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak akan wujud negatif,
magnet tidak akan terjadi.
Filsafat Timur
“Filsafat
Timur” adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di
India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya.
Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama.
Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat,
terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih
menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta
Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao
Zedong.
‘Filsafat
Timur Tengah’ ini
sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para
filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris
tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama
adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi,
yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan
Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan
komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan
ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan
melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari
karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh
orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina),
Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan
Averroes.
Filsafat Barat
“Filsafat Barat” adalah ilmu yang biasa dipelajari
secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan
mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun
pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan
rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi
mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang
oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius
menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John
Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan
berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato,
Thomas Aquinas, RƩne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur
Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri
yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya
pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut
adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas
tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara
empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup,
atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah
tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti
“pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti
batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema
yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada
kehidupan manusia. Nilai sosial
Filsafat Di Indonesia
Filsafat Indonesia adalah sebutan umum untuk tradisi
kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan
disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam berbagai bahasa yang hidup
dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa
Indonesia, meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur
dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang
ditulis oleh M. Nasroen, seorang
Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas
Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam
kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan
mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang
Dekan Fakultas Filsafat di Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta,
menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang
bernama Jurusan Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah
Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat Indonesia
mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan
perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M.Nasroen
tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat
Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam
konsep-konsep dan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum
adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38).
Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia'
sebagai kekayaan budaya bangsa kita sendiri, yang terkandung di
dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya
sebagai pemikiran-pemikiran yang tersimpul di dalam adat
istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata
'Filsafat Indonesia' sebagai pemikiran primordial
atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh
bangunan karya budaya (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut
memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi.
Secara kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata
'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains.
Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata
generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan
dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi
semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna
kata budaya tadi.
Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu,
menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada
pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami
oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan
Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat
Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi
kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia
sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan',
yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan
definisi penulis yang terakhir.
Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh
semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai
Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan
yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan
filsafat sejagat lainnya. Sebagai
suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat
Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar
tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis,Indonesia:
Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis
(di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur'
atau 'Filsafat Barat'), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang
berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar
Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudulFalsafah Indonesia (1967).
Kajian Filsafat Pancasila
Kajian Epistemologi
Kajian epistemologi filsafat Pancasila
dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena epistemologi merupakan bidang filsafat
yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi
Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu,
dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang
hakikat manusia.
Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga
persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a.
Tentang sumber pengetahuan manusia.
b.
Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; serta
c.
Tentang watak pengetahuan manusia.
Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek
kajian pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan
Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Adapun tentang sumber pengetahuan
Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama, adalah nilai-nilai yang ada pada
bangsa Indonesia itu scndiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles,
bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa material is Pancasila.
Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu
sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis,
baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila
Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis
dan berbentuk piramidal, yaitu:
1.
Sila pertama Pancasila mendasari dan mcnjiwai keempat sila lainnya.
2.
Sila kcdua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila
ketiga, keempat, dan kclima;
3.
Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari
dan menjiwai sila keempat dan kelima.
4.
Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga serta
mendasari dan menjiwai sila kelima; serta
5.
Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga,dan
keempat.
Demikianlah, susunan Pancasila memiliki
sistem logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar
rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain
itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila
Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran
pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia
pada hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sesuai
dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran
wahyu yang bersifal mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya, kebenaran dan pengetahuan
manusia merupakan suatu sintesis yang harmonis di antara potensi-potensi
kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan
kebenaran yang tertinggi.
Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi Pancasik: mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifai kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social.
Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi Pancasik: mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifai kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social.
Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila
memandang bahwa ilnu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus
diletakkan padc kcrangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius
dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia.
Itulah sebabnya Pancasila
secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalarr membangun
perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
Selasa, 27 Desember 2016
Senin, 26 Desember 2016
Pengertian filsafat bahasa (Analitik) dan perkembangannya
Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara
terminologi yaitu:
Menurut Rudolph Carnap, filsafat
analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur
gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa
ilmu yang semata-mata formal. Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik
bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam
bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.
Didalam kamus populer filsafat,
filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran
Wina. filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik.
Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang
berlaku dalam ilmu elsakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya
harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti
tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi).
Filsafat analitik adalah suatu
gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang
memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa
pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau
bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan
singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang
pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik
atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual. Filsafat analitik sendiri,
secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan
menggunakan analisis bahasa.
Bilamana dikaji perkembangan
filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak
munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung
sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase
pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana
filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. kedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan
Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad
pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat,
hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang
meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini
berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini
ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa
merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian filsafat terhadap bahasa
sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu
ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam
semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh
minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di
atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih
tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu
ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan.
Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda
material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah
dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini
kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka
medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi.
Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan
“jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda
itu satu”. Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari filsafat alam
kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat bahasa mulai berkembang
pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin
linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas
si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut
mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk
unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara
si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep
tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung
referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.
Filsafat abad modern memberikan
dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan
rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan
pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan
otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam
pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel
kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat
analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui
ungkapan bahasa.
Bertrand Russel - Filsafat Analitik
Bertrand Russel (1872-1970) lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4
tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah
orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain
pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya.
Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali, 71 buku dan
brosur) tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral,
pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah
Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena
pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut
ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut
dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume. Bagi Russell,
dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini,
kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat
tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig
Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia
sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme
logis pada dekade 1920-30 an.
Jalan pemikiran Russell ini
menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti.
Russerl menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta,
bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan prinsip dasarnya, yaitu:
ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta dengan bahasa, dan dunia ini
merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russerl
merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.
Ia berpendapat bahwa grammar dari
bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri
dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis
inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia
berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis
proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi
tersebut. untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan
sintesis logis.
Berdasarkan prinsip-prinsip
pemikiran itulah maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak
didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena
menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu
pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.
Gottlob Frege - Filsafat Analitik
Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege
(1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak
merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya.
Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.
Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan
filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat
‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar
kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang
matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang
implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia
menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan
yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah
deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Salah satu idenya yang paling
berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan
“acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna
hanya apabila mempunyai arti dan acuan.
Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu
kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk
simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk
menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk
jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan
filsafat menjadi ilmu yang ketat.
Filsafat Politik
Filsafat politik telah lahir sejak manusia mulai
menyadari bahwa tata sosial kehidupan bersama bukanlah sesuatu yang terberi
secara alamiah, melainkan sesuatu yang sangat mungkin terbuka untuk perubahan.
Oleh karenaitu, tata politik merupakan produk budaya dan memerlukan justifikasi
filosofis untuk memepertahankannya. Filsafat politik juga seringkali muncul
sebagai tanggapan terhadap situasi krisis zamannya.
Pada era pertengahan, tema relasi antara negara dan
agama menjadi tema utama filsafat politik. Pada era modern,tema pertentangan
antara kekuasaan absolut dan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi
menjadi tema utama refleksi filsafat politik.Menurut Plato, filsafat politik
adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia
dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk
mewujudkan.
Konsep pemikiran Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh
karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara
pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara
adalah cerminan mansia yang menjadi warganya (J.H. Rapar, 2001). Filsafat
politik memberikan penjelasan yang berdasarkan rasio dilihat adanya hubungan
antara sifat dan hakikat dari alam semesta (universe) dengansifat dan hakikat
kehidupan politik di dunia fana ini.
Pokok pikiran dari filsafat politik adalah
bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti
metafisika dan epistemologi harus dipecahkan lebih dahulu sebelum persoalan politik
yang sehari-hari dapat ditanggulangi.
Contoh: Keadilan merupakan hakikat dari alam semesta
sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai kehidupan yang baik yang dicita
- citakan oleh Plato. Filsafat politik erat kaitannya dengan etika
dan filsafat politik. Dalam pembahasan filsafat politik dikaitkan dengan
filsafat politik pendidikan.
Filsafat Politik dan Kesadaran
Filsafat
politik dan filsafat kesadaran berdiri di dalam bayang-bayang definisi filsafat
di atas. Filsafat politik adalah cabang dari filsafat yang hendak memahami
hakekat dari kehidupan politik manusia, dan memberikan arahan tentang cara
menciptakan politik yang mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua.
Filsafat kesadaran adalah cabang filsafat yang hendak memahami hakekat dari
kesadaran manusia. Keduanya menggunakan metode yang bersifat logis, kritis,
rasional, ontologis dan sistematis.
Filsafat politik
hendak menemukan ide dan prinsip yang memungkinkan adanya masyarakat, atau
komunitas, dalam segala bentuknya. Inilah yang disebut sebagai pendekatan
deskriptif di dalam filsafat politik. Pendekatan ini nantinya berkembang
menjadi ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, politik, hukum dan ilmu
budaya. Namun, filsafat politik tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga
normatif: ia menawarkan prinsip-prinsip yang memungkinkan suatu komunitas
mencapai perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.
Dua prinsip yang
penting di dalam filsafat politik, yakni keadilan dan kesetaraan. Ada beragam
arti dari konsep keadilan dan kesetaraan. Filsafat politik hendak mengupas dan
mengembangkan beragam arti tersebut, dan melihat kemungkinan penerapannya di
berbagai keadaan. Dua prinsip ini menjadi nyata, ketika ia menjadi prinsip
utama di dalam berbagai institusi publik yang menata keadaan politik sebuah
komunitas.
Filsafat
politik juga memiliki ciri kritis. Ia tidak pernah puas dengan satu jawaban.
Tidak ada jawaban final. Yang ada adalah proses diskusi terus menerus, sehingga
pandangannya bisa terus menyesuaikan dengan keadaan dunia yang terus berubah
dengan cepat sekarang ini.
Corak Filsafat Bangsa Yunani
Jika dilihat
kebelakang corak filsafat bangsa Yunani, maka sudah barang tentu bukan melihat
keruntuhan Yunani yang telah lama ditinggalkan. Di sini yang akan
ditinjau dan dipahami serta yang dihadapi adalah unsur-unsur yang sebagian
besar menjadi fondasi bangunan untuk kultur modern. Contohnya adalah jika
dirunut jalan pikiran yang logis, maka mau tak mau adalah meneruskan tradisi
yang diwarisi dari orang Yunani. Bertolak dari itu, apabila diamati secara seksama,
maka betapa banyak kategori pikiran yang dipakainya sekarang. Oleh sebab itu
dengan tidak disadarinya bahwa perkembangan sekarang ini berasal dari
kebudayaan Yunani atau setidak tidaknya orang Yunani memberikan landasannya.
Untuk seorang filsuf atau ahli di bidang filsafat,
sudah tentu banyak alasan untuk menaruh perhatian kepada filsafat Yunani.
Ditinjau secara kronologis adanya filsafat (filsafat Barat) seluruhnya, maka era
filsafat purba jaman Yunani mempunyai kedudukan istimewa, sebab di Yunani
ditemui munculnya filsafat itu sendiri. Jadi mempelajari filsafat Yunani
artinya menyaksikan kelahiran filsafat itu sendiri, sehingga tidak ada
pemahaman filsafat yang lebih ideal kecuali studi tentang pertumbuhan pemikiran
filsafat di negeri Yunani. Hal ini pernah
dikatakan oleh Alfred Whitehead seorang filsuf modern mengenai Plato sebagai
berikut: “All Western philosophy is but a series of footnes to Plato”.
Bila dilihat secara harafiah tampaknya kata kata ini sangat melebih lebihkan
pada diri Plato, namun sebenarnya tidak, sebab pada Plato dan umumnya dalam
seluruh filsafat Yunani tetap berjumpa dengan problem problem filsafat yang
masih dipersoalkan sampai masa kini. Tema-tema filsafat Yunani,
seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”, “kebenaran”, “jiwa”,
“pengenalan”, dan “Tuhan” merupakan tema-tema pula bagi filsafat secara
umum.Begitu pula para filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan
pemikiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul
dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam
kalangan mereka.
Bicara tentang
filsafat ciptaan Yunani tampaknya tidak boleh menghindar bahwa sebenarnya mengalami
banyak kesulitan. Banyak orang mengatakan bahwa pembicaraan periode filsafat
purba Yunani ini adalah “The early Greek period is more a field for
fancy than for fact”. Jadi kesulitan kesulitannya berasal dari
keadaan sumber, karena pikiran dari para filsufnya di mana disimpan untuk bisa
ditemukan dan dipelajarinya. Di samping itu, ada juga beberapa filsuf Yunani
yang tidak pernah menulis satu barispun, misalnya Thales, Pythagoras, dan
Sokrates. Sehingga untuk mengetahui jalan pikiran mereka terpaksa harus percaya
dari kesaksian orang lain yang berbicara tentang ajaran mereka, seperti percaya
pada tulisan dan pembicaraan para murid ataupun teman sejawatnya. Selain itu, ada
filsuf filsuf yang meskipun menulis satu karangan atau lebih, namun tulisan itu
sudah hilang entah di mana, sehingga harus merasa puas dengan beberapa fragmen
yang telah dikutip oleh para pengarang lain dengan kesaksian isi ajaran mereka.
Disinilah problem muncul, yaitu kesaksian bagaimana yang harus dipercaya
tentang pikiran filsuf dimaksud. Problem tentang sumber atau refrensi terutama
muncul apabila yang dibicarakan adalah para filsuf yang mendahului Sokrates dan
karenanya filsufnya pun lalu dijuluki “filsuf filsuf pra-Sokratik”. Meskipun
banyak ditemui banyak kesulitan, namun masih bisa dibilang beruntung, karena
mendapati sumber sumber yang jauh lebih memuaskan untuk ketiga karya filsuf
Yunani yang dibilang besar, yaitu Plato, Aristoteles, dan Plotinus.
Filsafat Hasil Pikiran Para Filsuf Miletos
Miletos sebagai kota
tempat lahirnya filsafat (filsafat Barat), konon ceritanya juga tempat lahirnya
tujuh orang bijaksana. Ketujuh orang bijaksana dimaksud memang tidak banyak
yang diketahui siapa saja namanya, meskipun waktunya diketahui yaitu kira kira abad
ke-6 s. M. Dalam berita berita yang didengar banyak orang pada waktu itu, namun
tentang nama namanya pun berganti ganti dan berbeda beda. Meskipun banyak orang
mengatakan berbeda beda, tetapi nama Thales dari Miletos tetap disebut sebut,
sehingga ia tetap diingat sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana
dimaksud. Hanya saja tentang Thales
banyak dongeng yang beredar dan kurang dapat dipercaya. Tentang fakta dan data
Thales semasa hidupnya, dapat diketahui dari tokoh sejarawan Herodotos yang
hidup kira kira abad ke-5 s. M, namun Thales tidak disebutnya dengan nama
“filsuf” dan tidak menceritakannya bahwa ia sebagai filsuf . Baru kemudian
Aristoteles seorang filsuf yang hidup sekitar abad ke-4 s. M mengatakan secara
tegas dan mengenakan gelar kepada Thales “filsuf yang pertama”.
Satu hal yang perlu
diingat, bila Thales tidak pernah menulis pikiran pikirannya atau tentang
karyanya pun hampir tidak ada kesaksiannya. Oleh sebab itu, satu satunya sumber
yang bisa dipercaya yaitu dari karya Aristoteles, meskipun ia memperoleh
informasi hanya tradisi lisan saja. Salah satu contoh yaitu dalam traktat
Aristoteles tentang “metafisika” yang mengatakan bahwa “Thales termasuk filsuf
yang mencari arkhe (asas atau prinsip) alam semesta”, dan
Thales adalah yang pertama di antara sesama filsuf se angkatannya. tentang
psikologi memberitahukan pula bahwa menurut Thales “kesemuanya penuh dengan
allah allah”. Aristoteles memperkirakan bila yang dimaksud perkataan Thales itu
bahwa jagad raya itu berjiwa. Jika hal itu memang benar, maka yang dikatakan
oleh Thales itu tentu mengandung arti bahwa magnit mempunyai jiwa, sehingga
mampu menggerakkan besi. Pendapat Thales bahwa jagad raya berjiwa, sering kali
lalu disebut “teori mengenai materi yang hidup” (Yunani: hylezoisme)
Pendapat lain tentang
prinsip pertama atau dalam istilah Yunani adalah arkhe alam semesta,
dikemukakan oleh seorang filsuf lain, yaitu Anaximandros. Anaximandros mengatakan bahwa dunia timbul dari yang
tak terbatas karena suatu penceraian (Yunani: ekkrisis). Prosesnya yaitu
dilepaskan dari apeiron itu unsur unsur yang berlawanan (Yunani: ta enantia)
berupa unsure panas dan unsure dingin, unsure kering dan unsure basah.
Unsur-unsur itu selalu berperang antara yang satu dengan yang lain. Misalnya
musim panas selalu mengalahkan musim dingin dan dsebaliknya, tapi bilamana satu
unsure menjadi dominant, maka karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia),
maka keseimbangan neraca harus dipulihkan kembali.
Filsuf lain yang
mencari prinsip fundamental atau yang disebut arkhe dari alam
semesta adalah Anaximenes. Tentang tanggal kelahiran Anaximenes tidak diketahui
secara pasti, namun yang jelas bahwa ia lebih muda dari Anaximandros.
Anaximenes tidak menerima pandangan dari Anaximandros, karena menurutnya
bagaimana mungkin hal yang tak terbatas (to apeiron) dapat menjadi asas
yang pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya. Anaximenes mengatakan bahwa prinsip pertama yang
merupakan asal usul alam semesta beserta isinya adalah udara. Hal ini dengan
dasar bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan tubuh makluk hidup, terutama
manusia, demikian pula udara melingkupi segala galanya. Jiwa sendiri menurut
Anaximenes juga udara yang dipupuk dengan bernafas.
Ajaran filsuf filsuf
dari Ionia yang pertama bisa disebut “filsafat alam”, karena perhatian mereka
selalu dipusatkan pada alam. Alam senantiasa dalam keadaan perubahan, seperti
malam mengganti siang, bulan terang mengganti bulan gelap, laut pasang kemudian
surut, musim panas dilanjutkan musim dingin, dan lain sebagainya. Hal ini boleh ditambah
yaitu bahwa rasa heran itu sebenarnya juga merupakan latar belakang mite
mite kosmogonis dan mite mite kosmologis,namun
filsuf filsuf dari Miletos untuk kali pertamanya memberi jawaban secara
rasional atas problematic yang disodorkan oleh alam semesta. Hal inilah yang
menjadi preatasi luar biasa hebatnya bagi filsuf Miletos, meskipun banyak
unsure dari pemikiran mereka yang kedengarannya naĆÆf bagi telinga orang masa
kontemporer ini.
Hasil pemikiran para filsuf pertama
kiranya dapat disimpulkan dalam tiga ucapan yaitu:
1. Alam semesta merupakan
keseluruhan yang bersatu, akibatnya maka harus diterangkan dengan menggunakan
satu prinsip saja, meskipun dalam memilih satu prinsip zat asali itu antara
filsuf yang satu dengan filsuf lain berbeda dalam mengartikan kesatuan dunia.
2. Alam semesta dikuasai oleh suatu hokum. Oleh sebab
itu, kejadian kejadian dalam alam semesta tidak merupakan kebetulan, melainkan
ada semacam keharusan di belakang kejadian kejadiannya.
3. Sebagai akibatnya, maka alam semesta merupakan kosmos.
Katakosmos adalah istilah dari Yunani, maka boleh
diterjemahkan sebagai “dunia”, namun akan lebih tepat lagi apabila
diterjemahkan “dunia yang teratur”. Jadi bagi orang Yunani, kosmos bertentangan
dengan khaos artinya dunia dalam keadaan kacau balau (Bertens,
1987: 33).
Sejarah Filsafat Yunani
Orang yunani yang
hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem kepercayaan bahwa segala sesuatunya
harus diterima sebagai sesuatu yang bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng.
Artinya suatu kebenaran lewat akal pikir (logis) tidak berlaku, yang berlaku
hanya suatu kebenaran yang bersumber dari mitos (dongeng-dongeng).
Setelah abad ke-6 SM
muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Mereka menginginkan
adanya pertanyaan tentang isteri alam semesta ini, jawabannya dapat diterima
akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitiologi, artinya
suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan
hal-hal yang sifatnya mitologi.upaya para ahli pikir untuk mengarahkan kepada
suatu kebebasan berfikir , ini kemudian banyak orang mencoba membuat suatu
konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni, maka timbullah
peristiwa ajaib The Greek Miracle yang artinya dapat dijadikan
sebagai landasan peradaban dunia.
Pelaku filsafat
adalah akal dan musuhnya adalah hati. Pertentangan antara akal dan hati itulah
pada dasarnya isi sejarah filsafat. Di dalam sejarah filsafat kelihatan akal
pernah menang, pernah kalah, hati pernah berjaya, juga pernah kalah, pernah
juga kedua-duanya sama sama-sama menang. Diantara keduanya , dalam sejarah,
telah terjadi pergugumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan
manusia.
Yang dimaksud dengan
akal disini ialah akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati adalah
rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada.akal itulah yang menghasilkan
pengethauan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya
menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk
disini. Ciri umum filsafat yunani adalah rasionalisme yang dimana mencapai puncaknya
pada orang-orang sofis.
Dalam sejarah
filsafat biasanay filsafat yunani dimajukan sebagai pangkal sejarah filsafat
barat, karena dunia barat (Erofa Barat) dalam alam pikirannya berpangkal kepada
pemikiran yunani. Pada masa itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya
alam semesta serta dengan penghuninya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan
kepercayaan. Ahli-ahli pikir tidka puas akan keterangan itu lalu mencoba
mencari keterangan melalui budinya. Mereka menanyakan dan mencari jawabannya
apakah sebetulnya alam itu. Apakah intisarinya? Mungkin yang beraneka warna ynag
ada dalam alam ini dapat dipulangkan kepada yang satu. Mereka mencari inti
alam, dengan istilah mereka : mereka mencari arche alam (arche dalam
bahasa yunani yang berarti mula, asal).
Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat yunani
ini lahir, yaitu:
1.
Bangsa yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana
mitos dianggap sebagai awal dari uapaya orang untuk mengetahui atau mengerti.
Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara
kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair
karya Homerus, Orpheus dan lain-lain.
2.
Karya sastra yunani yang dapt dianggap sebagai
pendorong kelahiran filsafat yunani, karya Homerous mempunyai kedudukan yang
sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang yunani yang didalamnya
mengandung nilai-nilai edukatif.
3.
Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari
Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, kemudian berkat kemampuan dan
kecakapannya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan sehingga mereka mempelajarinya
tidak didasrkan pada aspek praktis saja, tetapi juga aspek teoritis kreatif.
Dengan adanya ketiga faktor tersebut, kedudukan mitos
digeser oleh logos (akal), sehingga setelah pergeseran tersebut filsafat lahir.
Periode
yunani kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian, karena
pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam, dimana arah
dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati sekitarnya.mereka membuat
pertanyaan-pertanyaan tentang gejala alam yang bersifat filsafati (berdasarkan
akal pikir) dan tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama
dari alam semesta (arche) yang sifatnya mutlak, yang berada di belakang segala
sesuatu yang serba berubah.
Para
pemikir filsafat yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota
perantauan Yunani yang terletak di pesisir Asia Kecil. Mereka kagum terhadap
alam yang oleh nuansa dan ritual dan berusaha mencari jawaban tas apa ynag ada
di belakang semua materi itu.
ZAMAN ABAD PERTENGAHAN
Abad Pertengahan ditandai dengan
tampilnya para teolog di lapangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa ini
hampir semua adalah para teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan
aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah
ancilla theologia atau abdi agama. Namun demikian harus diakui bahwa banyak
juga temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa ini. Periode Abad
Pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan
itu terutama terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama Kristen yang
diajarkan oleh Nabi Isa as. pada permulaan Abad Masehi membawa perubahan besar
terhadap kepercayaan keagamaan.
Pada zaman ini kebesaran kerajaan Romawi
runtuh, begitu pula dengan peradaban yang didasakan oleh logika ditutup oleh
gereja dan digantikan dengan logika keagamaan. Agama Kristen menjadi problema
kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran
yang sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani Kuno yang mengatakan bahwa
kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya
wahyu. Pada zaman itu akademia Plato di Athena ditutup meskipun ajaran-ajaran
Aristoteles tetap dapat dikenal. Para filosof nyaris begitu saja menyatakan
bahwa Agama Kristen adalah benar.
Mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani
ada dua: Golongan yang menolak sama sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran
Yunani merupakan pemikiran orang kafir, karena tidak mengakui wahyu. Menerima
filsafat Yunani yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan,
kebijaksanaan manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan.
Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati maka akal dapat dibantu
oleh wahyu.
Filsafat pada zaman Abad Pertengahan
mengalami dua periode, yaitu: Periode Patristik, berasal dari kata Latin patres
yang berarti bapa-bapa Gereja, ialah ahli-ahli agama Kristen pada abad
permulaan agama Kristen. Periode ini mengalami dua tahap: 1) Permulaan agama
Kristen. Setelah mengalami berbagai kesukaran terutama mengenai filsafat
Yunani, maka agama Kristen memantapkan diri. Keluar memperkuat gereja dan ke
dalam menetapkan dogma-dogma. 2) Filsafat Agustinus yang merupakan seorang
ahli filsafat yang terkenal pada masa patristik. Agustinus melihat dogma-dogma
sebagai suatu keseluruhan. Periode Skolastik, berlangsung dari tahun 800-1500
M. Periode ini dibagi menjadi tiga tahap: 1) Periode skolastik awal (abad
ke-9-12), ditandai oleh pembentukan rnetode-metode yang lahir karena hubungan
yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah
persoalan tentang Universalia. 2) Periode puncak perkembangan skolastik (abad
ke-13), ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi oleh Aristoteles akibat
kedatangan ahli filsafat Arab dan Yahudi. Puncak perkembangan pada Thomas
Aquinas. 3) Periode skolastik akhir (abad ke-14-15), ditandai dengan pemikiran
kefilsafatan yang berkembang ke arah nominalisme, ialah aliran yang berpendapat
bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang
umum mengenai adanya sesuatu hal. Pengertian umum hanya momen yang tidak
mempunyai nilai-nilai kebenaran yang objekti.
MASA HELINITIS DAN ROMAWI
Pada zaman Alexander Agung (359-323 SM)
sebagai kaisar Romawi dari Macedonia dengan kekuatan militer yang besar
menguasai Yunani, Mesir, Hingga Syria. Pada masa itu berkembang sebuah
kebudayaan trans nasional yang disebut kebudayaan Hellinistis, karena kekuasaan
Romawi dengan ekspansi yang luas membawa kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi
pada kota-kota Yunani saja, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang
ditaklukkan Alexander Agung. Bidang filsafat, di Athena tetap merupakan suatu
pusat yang penting, tetapi berkembang pula pusat-pusat intelektual lain,
terutama kota Alexandria. Jika akhirnya ekspansi Romawi meluas sampai ke
wilayah Yunani, itu tidak berarti kesudahan kebudayaan dan filsafat Yunani,
karena kekaisaran Romawi pun pintu di buka lebar untuk menerima warisan
kultural Yunani.
Dalam bidang filsafat tetap berkembang,
namun pada saat itu tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh besar kecuali
Plotinus. Pada masa ini muncul beberapa aliran berikut:
Pertama, Sinisme. Menurut paham ini
jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut Logos. Oleh karena itu,
segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari.
Aliran Sinisme merupakan pengembangan dari aliran Stoik.
Kedua, Stoik. Menyatakan penyangkalannya
adanya “Ruh” dan “Materi” aliran ini disebut juga dengan Monoisme dan menolak
pandangan Aristoteles dengan Dualismenya. Ketiga, Epikurime. Segala-galanya
terdiri atas atom-atom yang senantiasa bergerak. Manusia akan bahagia jika mau
mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa. Setiap
tindakan harus dipikirkan akan akibatnya. Aliran ini merupakan pengembangan
dari teori atom Democritus sebagai obat mujarab untuk menghilangkan rasa takut
pada takhayul. Keempat, Neo Platonisme. Paham yang ingin menghidupkan kembali
filsafat Plato. Tokohnya adalah Plotinus. Seluruh filsafatnya berkisar pada
Allah sebagai yang satu. Segala sesuatu berasal dari yang satu dan ingin
kembali kepadanya.
ZAMAN KONTEMPORER (ABAD KE-20 DAN SETERUSNYA)
Di antara ilmu khusus yang dibicarakan oleh para
filsuf, bidang fisika menempati kedudukan yang paling tiggi. Menurut Traut
fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya
mengandung unsur-unsur fundamental yang mernbentuk alam semesta juga
menunjukkan bahwa secara historis hubungan antara fisika dengan flsafat terliht
dalam dua cara. Pertama, persuasi filosafis mengenai metode fisika, dan dalam
interaksi antara pandangan subtasional tentang fisika (misalnya: tentang
materi, kuasa, konsep ruang, dan waktu). Kedua, ajaran filsafat tradisional
yang menjawab fenornena tentang materi, kuasa, ruang, dan waktu. Dengan
demikian, sejak semula sudah ada hubungan yang erat antara filsafat dan fisika.
Fisikawan abad ke-21 adalah Albert Einstain menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Di samping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain, Zaman Kantemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang Mengalami kemajuan sangat pesat.
Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kantemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara rnendalam. Ilmnu kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainya, sehingga dihadirkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dewasa ini dikenal dengan teknolagi kloning.
Fisikawan abad ke-21 adalah Albert Einstain menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Di samping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain, Zaman Kantemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang Mengalami kemajuan sangat pesat.
Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kantemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara rnendalam. Ilmnu kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainya, sehingga dihadirkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dewasa ini dikenal dengan teknolagi kloning.
Al-Ghazali
Memiliki
pemikiran berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu mantq, metafiska dan fisika
yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf yang
menulis tentang kefilsafatan dalam karyanya Maqashid Al Falasifah,
sesudah itu ia menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana
ia bertindak bukan sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh
Islam yang hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya
serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan
agama.
Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup menggugat dirinya
sendiri. Ia jujur, konsekuen dan tegas dalam pendirian. Selalu nengacu pada
kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam. Menurut Al-Ghazali
agama tidak melarang ataupun memerintahkan mempelajari ilmu matematika, karena
ilmu adalah hasil pembuktian pemikiran orang yang tidak bisa diingkari, sesudah
dipahami dan dimengerti. Tetapi ilmu dimaksud menimbulkan 2 keberatan:
(1) Karena
keberatan dan ketelitian ilmu-ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang
mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya, sampaipun dalam
lapangan ketuhanan; (2) Sikap yang timbul dari pemeluk Islam
yang bodoh yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama, harus mengingkari semua
ilmu yang berasal dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka bodoh
semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari
dan dianggap berlawanan dengan syara’.
Lapangan
logika menurut Al-Ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau
dengan kata lain agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi
tentang penyelidikan dalil-dalil pembuktian, qiyas-qiyas (sylogisme),
syarat-sayarat pembuktian (burhan), definisi-definisi dan sebagainya. Semua
persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai
oleh ulama-ulama theologi Islam meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan
kata-katanya. Bahasa yang ditimbulkan oleh logika dari filosuf-filosuf, ialah
karena syarat-syarat pembuktian tersebut juga menjadi pendahuluan dalam
soal-soal ketuhanan (metafisika), sedang sebenarnya tidak demikian.
Ilmu
fisika menurut Al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur
(benda-benda) tunggal, seperti air, hawa tanah dan api: kemudian benda-benda
tersusun seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam, sebab-sebab perubahan dan
pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan langan kedokteran,
yaitu menyelidiki tubuh orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia
yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak diisyaratkan
mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula fisika juga tidak perlu
diingkari, kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan dalam buku Tahafutu
Al Falasifah, yang disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai (tunduk)
kepada Tuhan, tidak bekerja dengan diri sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan
zat pencipta.
Ibnu Maskawaih - Filosuf Muslim
Maskawaih
adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib,
ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan
India, termasuk filsafat Yunani, sangat luas.
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan
nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil
dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam.
Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum
Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya
sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika
orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain
juga sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan
pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan
sebagai bendaharawannya.
Maskawaih
dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis
menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul
Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar
421 H/16 Pebruari 1030 M.
Ditinjau
dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani
Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan
berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah
Al-Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri
(Amir Al-Umara’) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M.
‘Adhud
Al-Daulah amat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa
itu jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan
pujangga. Tetapi, disamping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati
Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah
agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang
etika Islam.
Riwayat
pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis
autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi
yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga
bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya.
Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada
umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari
Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu
membaca dan membuat sya’ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut
diajarkan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada yang mana guru
didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah
ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu
fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan
matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti:
musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Diduga
Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun
menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi
keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk
pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar
perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca
buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu
Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai
bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Pemikiran
filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan,
wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang
cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah
adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai
adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah
“bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara
insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui
kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib
dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”.
Sedangkan
mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya
membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian
teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat
mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya
benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan
bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk
dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Kesempurnaan
moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan
perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang
dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga
perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari
kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia
hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua
bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah
memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
Filsafat Kristen
“Filsafat Kristen” mulanya
disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad
pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman
kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan
agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen
adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas,
Santo Bonaventura, dan lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar
diatas, masih ada beberapa agama lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang
sampai sekarang masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Budha dalam
bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar, atau yang mencapai pencerahan
sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk mengetahui). Budha merupakan gelar
kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan
yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan
untuk merujuk Siddharta Gautama yang dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman
Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan
pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan
lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak
menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir.
Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang
bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan
manusia, dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas
karma yang bagus (tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak
mahir ditinggalkan. Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddhaadalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih
kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya.
Taoisme merupakan
filsafat Laozi dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi
bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk,
tidak terlihat tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua
benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua
benda hidup dan kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan
sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak
berbalah, bersifat lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia adalah
apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme
mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan
teori Yinyang. Yin dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan
sebagai negatif dan positif. Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif
mesti adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong,
tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif dan negatif,
kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak akan wujud negatif,
magnet tidak akan terjadi.
Filsafat Timur
“Filsafat
Timur” adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di
India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya.
Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama.
Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat,
terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih
menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta
Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao
Zedong.
‘Filsafat
Timur Tengah’ ini
sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para
filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris
tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama
adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi,
yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan
Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan
komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan
ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan
melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari
karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh
orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina),
Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan
Averroes.
Filsafat Barat
“Filsafat Barat” adalah ilmu yang biasa dipelajari
secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan
mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun
pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan
rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi
mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang
oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius
menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John
Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan
berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato,
Thomas Aquinas, RƩne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur
Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri
yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya
pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut
adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas
tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara
empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup,
atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah
tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti
“pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti
batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema
yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada
kehidupan manusia. Nilai sosial
Filsafat Di Indonesia
Filsafat Indonesia adalah sebutan umum untuk tradisi
kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan
disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam berbagai bahasa yang hidup
dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa
Indonesia, meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur
dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang
ditulis oleh M. Nasroen, seorang
Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas
Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam
kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan
mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang
Dekan Fakultas Filsafat di Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta,
menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang
bernama Jurusan Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah
Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat Indonesia
mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan
perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M.Nasroen
tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat
Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam
konsep-konsep dan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum
adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38).
Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia'
sebagai kekayaan budaya bangsa kita sendiri, yang terkandung di
dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya
sebagai pemikiran-pemikiran yang tersimpul di dalam adat
istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata
'Filsafat Indonesia' sebagai pemikiran primordial
atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh
bangunan karya budaya (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut
memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi.
Secara kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata
'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains.
Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata
generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan
dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi
semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna
kata budaya tadi.
Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu,
menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada
pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami
oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan
Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat
Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi
kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia
sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan',
yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan
definisi penulis yang terakhir.
Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh
semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai
Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan
yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan
filsafat sejagat lainnya. Sebagai
suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat
Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar
tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis,Indonesia:
Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis
(di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur'
atau 'Filsafat Barat'), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang
berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar
Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudulFalsafah Indonesia (1967).
Kajian Filsafat Pancasila
Kajian Epistemologi
Kajian epistemologi filsafat Pancasila
dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena epistemologi merupakan bidang filsafat
yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi
Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu,
dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang
hakikat manusia.
Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga
persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a.
Tentang sumber pengetahuan manusia.
b.
Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; serta
c.
Tentang watak pengetahuan manusia.
Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek
kajian pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan
Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Adapun tentang sumber pengetahuan
Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama, adalah nilai-nilai yang ada pada
bangsa Indonesia itu scndiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles,
bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa material is Pancasila.
Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu
sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis,
baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila
Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis
dan berbentuk piramidal, yaitu:
1.
Sila pertama Pancasila mendasari dan mcnjiwai keempat sila lainnya.
2.
Sila kcdua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila
ketiga, keempat, dan kclima;
3.
Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari
dan menjiwai sila keempat dan kelima.
4.
Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga serta
mendasari dan menjiwai sila kelima; serta
5.
Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga,dan
keempat.
Demikianlah, susunan Pancasila memiliki
sistem logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar
rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain
itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila
Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran
pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia
pada hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sesuai
dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran
wahyu yang bersifal mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya, kebenaran dan pengetahuan
manusia merupakan suatu sintesis yang harmonis di antara potensi-potensi
kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan
kebenaran yang tertinggi.
Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi Pancasik: mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifai kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social.
Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi Pancasik: mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifai kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social.
Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila
memandang bahwa ilnu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus
diletakkan padc kcrangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius
dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia.
Itulah sebabnya Pancasila
secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalarr membangun
perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
Langganan:
Postingan (Atom)