SERTIFIKAT SEMINAR NASIONAL


Pengertian filsafat bahasa (Analitik) dan perkembangannya

Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara terminologi yaitu:
Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal. Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.
Didalam kamus populer filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran Wina. filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu elsakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi). 
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual. Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.
Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. kedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan. 
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa. 

Bertrand Russel - Filsafat Analitik

Bertrand Russel (1872-1970)  lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali, 71 buku dan brosur) tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell  yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada dekade 1920-30 an.
Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti. Russerl menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta, bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta dengan bahasa, dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russerl merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.
Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi tersebut. untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan sintesis logis.

Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.

Gottlob Frege - Filsafat Analitik

Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.
Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang.  Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan acuan.
Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat. 

Filsafat Politik

Filsafat politik telah lahir sejak manusia mulai menyadari bahwa tata sosial kehidupan bersama bukanlah sesuatu yang terberi secara alamiah, melainkan sesuatu yang sangat mungkin terbuka untuk perubahan. Oleh karenaitu, tata politik merupakan produk budaya dan memerlukan justifikasi filosofis untuk memepertahankannya. Filsafat politik juga seringkali muncul sebagai tanggapan terhadap situasi krisis zamannya.
Pada era pertengahan, tema relasi antara negara dan agama menjadi tema utama filsafat politik. Pada era modern,tema pertentangan antara kekuasaan absolut dan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi menjadi tema utama refleksi filsafat politik.Menurut Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan.
Konsep pemikiran Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah cerminan mansia yang menjadi warganya (J.H. Rapar, 2001). Filsafat politik memberikan penjelasan yang berdasarkan rasio dilihat adanya hubungan antara sifat dan hakikat dari alam semesta (universe) dengansifat dan hakikat kehidupan politik di dunia fana ini.
Pokok pikiran dari filsafat politik adalah bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti metafisika dan epistemologi harus dipecahkan lebih dahulu sebelum persoalan politik yang sehari-hari dapat ditanggulangi.

Contoh: Keadilan merupakan hakikat dari alam semesta sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai kehidupan yang baik yang dicita - citakan oleh Plato. Filsafat politik erat kaitannya dengan etika dan filsafat politik. Dalam pembahasan filsafat politik dikaitkan dengan filsafat politik pendidikan.

Filsafat Politik dan Kesadaran

Filsafat politik dan filsafat kesadaran berdiri di dalam bayang-bayang definisi filsafat di atas. Filsafat politik adalah cabang dari filsafat yang hendak memahami hakekat dari kehidupan politik manusia, dan memberikan arahan tentang cara menciptakan politik yang mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Filsafat kesadaran adalah cabang filsafat yang hendak memahami hakekat dari kesadaran manusia. Keduanya menggunakan metode yang bersifat logis, kritis, rasional, ontologis dan sistematis.
Filsafat politik hendak menemukan ide dan prinsip yang memungkinkan adanya masyarakat, atau komunitas, dalam segala bentuknya. Inilah yang disebut sebagai pendekatan deskriptif di dalam filsafat politik. Pendekatan ini nantinya berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, politik, hukum dan ilmu budaya. Namun, filsafat politik tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif: ia menawarkan prinsip-prinsip yang memungkinkan suatu komunitas mencapai perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.
Dua prinsip yang penting di dalam filsafat politik, yakni keadilan dan kesetaraan. Ada beragam arti dari konsep keadilan dan kesetaraan. Filsafat politik hendak mengupas dan mengembangkan beragam arti tersebut, dan melihat kemungkinan penerapannya di berbagai keadaan. Dua prinsip ini menjadi nyata, ketika ia menjadi prinsip utama di dalam berbagai institusi publik yang menata keadaan politik sebuah komunitas.

Filsafat politik juga memiliki ciri kritis. Ia tidak pernah puas dengan satu jawaban. Tidak ada jawaban final. Yang ada adalah proses diskusi terus menerus, sehingga pandangannya bisa terus menyesuaikan dengan keadaan dunia yang terus berubah dengan cepat sekarang ini.

Corak Filsafat Bangsa Yunani

Jika dilihat kebelakang corak filsafat bangsa Yunani, maka sudah barang tentu bukan melihat keruntuhan Yunani yang telah lama ditinggalkanDi sini yang akan ditinjau dan dipahami serta yang dihadapi adalah unsur-unsur yang sebagian besar menjadi fondasi bangunan untuk kultur modern. Contohnya adalah jika dirunut jalan pikiran yang logis, maka mau tak mau adalah meneruskan tradisi yang diwarisi dari orang Yunani. Bertolak dari itu, apabila diamati secara seksama, maka betapa banyak kategori pikiran yang dipakainya sekarang. Oleh sebab itu dengan tidak disadarinya bahwa perkembangan sekarang ini berasal dari kebudayaan Yunani atau setidak tidaknya orang Yunani memberikan landasannya.
Untuk seorang filsuf atau ahli di bidang filsafat, sudah tentu banyak alasan untuk menaruh perhatian kepada filsafat Yunani. Ditinjau secara kronologis adanya filsafat (filsafat Barat) seluruhnya, maka era filsafat purba jaman Yunani mempunyai kedudukan istimewa, sebab di Yunani ditemui munculnya filsafat itu sendiri. Jadi mempelajari filsafat Yunani artinya menyaksikan kelahiran filsafat itu sendiri, sehingga tidak ada pemahaman filsafat yang lebih ideal kecuali studi tentang pertumbuhan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Hal ini pernah dikatakan oleh Alfred Whitehead seorang filsuf modern mengenai Plato sebagai berikut: “All Western philosophy is but a series of footnes to Plato”. Bila dilihat secara harafiah tampaknya kata kata ini sangat melebih lebihkan pada diri Plato, namun sebenarnya tidak, sebab pada Plato dan umumnya dalam seluruh filsafat Yunani tetap berjumpa dengan problem problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai masa kini.  Tema-tema filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”, “kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, dan “Tuhan” merupakan tema-tema pula bagi filsafat secara umum.Begitu pula para filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan pemikiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam kalangan mereka.

 Bicara tentang filsafat ciptaan Yunani tampaknya tidak boleh menghindar bahwa sebenarnya mengalami banyak kesulitan. Banyak orang mengatakan bahwa pembicaraan periode filsafat purba Yunani ini adalah “The early Greek period is more a field for fancy than for fact”. Jadi kesulitan kesulitannya berasal dari keadaan sumber, karena pikiran dari para filsufnya di mana disimpan untuk bisa ditemukan dan dipelajarinya. Di samping itu, ada juga beberapa filsuf Yunani yang tidak pernah menulis satu barispun, misalnya Thales, Pythagoras, dan Sokrates. Sehingga untuk mengetahui jalan pikiran mereka terpaksa harus percaya dari kesaksian orang lain yang berbicara tentang ajaran mereka, seperti percaya pada tulisan dan pembicaraan para murid ataupun teman sejawatnya. Selain itu, ada filsuf filsuf yang meskipun menulis satu karangan atau lebih, namun tulisan itu sudah hilang entah di mana, sehingga harus merasa puas dengan beberapa fragmen yang telah dikutip oleh para pengarang lain dengan kesaksian isi ajaran mereka. Disinilah problem muncul, yaitu kesaksian bagaimana yang harus dipercaya tentang pikiran filsuf dimaksud. Problem tentang sumber atau refrensi terutama muncul apabila yang dibicarakan adalah para filsuf yang mendahului Sokrates dan karenanya filsufnya pun lalu dijuluki “filsuf filsuf pra-Sokratik”. Meskipun banyak ditemui banyak kesulitan, namun masih bisa dibilang beruntung, karena mendapati sumber sumber yang jauh lebih memuaskan untuk ketiga karya filsuf Yunani yang dibilang besar, yaitu Plato, Aristoteles, dan Plotinus.

Filsafat Hasil Pikiran Para Filsuf Miletos

Miletos sebagai kota tempat lahirnya filsafat (filsafat Barat), konon ceritanya juga tempat lahirnya tujuh orang bijaksana. Ketujuh orang bijaksana dimaksud memang tidak banyak yang diketahui siapa saja namanya, meskipun waktunya diketahui yaitu kira kira abad ke-6 s. M. Dalam berita berita yang didengar banyak orang pada waktu itu, namun tentang nama namanya pun berganti ganti dan berbeda beda. Meskipun banyak orang mengatakan berbeda beda, tetapi nama Thales dari Miletos tetap disebut sebut, sehingga ia tetap diingat sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana dimaksud. Hanya saja tentang Thales banyak dongeng yang beredar dan kurang dapat dipercaya. Tentang fakta dan data Thales semasa hidupnya, dapat diketahui dari tokoh sejarawan Herodotos yang hidup kira kira abad ke-5 s. M, namun Thales tidak disebutnya dengan nama “filsuf” dan tidak menceritakannya bahwa ia sebagai filsuf . Baru kemudian Aristoteles seorang filsuf yang hidup sekitar abad ke-4 s. M mengatakan secara tegas dan mengenakan gelar kepada Thales “filsuf yang pertama”.
Satu hal yang perlu diingat, bila Thales tidak pernah menulis pikiran pikirannya atau tentang karyanya pun hampir tidak ada kesaksiannya. Oleh sebab itu, satu satunya sumber yang bisa dipercaya yaitu dari karya Aristoteles, meskipun ia memperoleh informasi hanya tradisi lisan saja. Salah satu contoh yaitu dalam traktat Aristoteles tentang “metafisika” yang mengatakan bahwa “Thales termasuk filsuf yang mencari arkhe (asas atau prinsip) alam semesta”, dan Thales adalah yang pertama di antara sesama filsuf se angkatannya. tentang psikologi memberitahukan pula bahwa menurut Thales “kesemuanya penuh dengan allah allah”. Aristoteles memperkirakan bila yang dimaksud perkataan Thales itu bahwa jagad raya itu berjiwa. Jika hal itu memang benar, maka yang dikatakan oleh Thales itu tentu mengandung arti bahwa magnit mempunyai jiwa, sehingga mampu menggerakkan besi. Pendapat Thales bahwa jagad raya berjiwa, sering kali lalu disebut “teori mengenai materi yang hidup” (Yunani: hylezoisme)
Pendapat lain tentang prinsip pertama atau dalam istilah Yunani adalah arkhe alam semesta, dikemukakan oleh seorang filsuf lain, yaitu Anaximandros. Anaximandros mengatakan bahwa dunia timbul dari yang tak terbatas karena suatu penceraian (Yunani: ekkrisis). Prosesnya yaitu dilepaskan dari apeiron itu unsur unsur yang berlawanan (Yunani: ta enantia) berupa unsure panas dan unsure dingin, unsure kering dan unsure basah. Unsur-unsur itu selalu berperang antara yang satu dengan yang lain. Misalnya musim panas selalu mengalahkan musim dingin dan dsebaliknya, tapi bilamana satu unsure menjadi dominant, maka karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia), maka keseimbangan neraca harus dipulihkan kembali.
Filsuf lain yang mencari prinsip fundamental atau yang disebut arkhe dari alam semesta adalah Anaximenes. Tentang tanggal kelahiran Anaximenes tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas bahwa ia lebih muda dari Anaximandros. Anaximenes tidak menerima pandangan dari Anaximandros, karena menurutnya bagaimana mungkin hal yang tak terbatas (to apeiron) dapat menjadi asas yang pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya. Anaximenes mengatakan bahwa prinsip pertama yang merupakan asal usul alam semesta beserta isinya adalah udara. Hal ini dengan dasar bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan tubuh makluk hidup, terutama manusia, demikian pula udara melingkupi segala galanya. Jiwa sendiri menurut Anaximenes juga udara yang dipupuk dengan bernafas.
Ajaran filsuf filsuf dari Ionia yang pertama bisa disebut “filsafat alam”, karena perhatian mereka selalu dipusatkan pada alam. Alam senantiasa dalam keadaan perubahan, seperti malam mengganti siang, bulan terang mengganti bulan gelap, laut pasang kemudian surut, musim panas dilanjutkan musim dingin, dan lain sebagainya. Hal ini boleh ditambah yaitu bahwa rasa heran itu sebenarnya juga merupakan latar belakang mite mite kosmogonis dan mite mite kosmologis,namun filsuf filsuf dari Miletos untuk kali pertamanya memberi jawaban secara rasional atas problematic yang disodorkan oleh alam semesta. Hal inilah yang menjadi preatasi luar biasa hebatnya bagi filsuf Miletos, meskipun banyak unsure dari pemikiran mereka yang kedengarannya naĆÆf bagi telinga orang masa kontemporer ini.
Hasil pemikiran para filsuf pertama kiranya dapat disimpulkan dalam tiga ucapan yaitu:
1.    Alam semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, akibatnya maka harus diterangkan dengan menggunakan satu prinsip saja, meskipun dalam memilih satu prinsip zat asali itu antara filsuf yang satu dengan filsuf lain berbeda dalam mengartikan kesatuan dunia.
2.    Alam semesta dikuasai oleh suatu hokum. Oleh sebab itu, kejadian kejadian dalam alam semesta tidak merupakan kebetulan, melainkan ada semacam keharusan di belakang kejadian kejadiannya.
3.    Sebagai akibatnya, maka alam semesta merupakan kosmos. Katakosmos adalah istilah dari Yunani, maka boleh diterjemahkan  sebagai “dunia”, namun akan lebih tepat lagi apabila diterjemahkan “dunia yang teratur”. Jadi bagi orang Yunani, kosmos bertentangan dengan khaos artinya dunia dalam keadaan kacau balau (Bertens, 1987: 33).

Sejarah Filsafat Yunani

Orang yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem kepercayaan bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai sesuatu yang bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng. Artinya suatu kebenaran lewat akal pikir (logis) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang bersumber dari mitos  (dongeng-dongeng).
Setelah abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Mereka menginginkan adanya pertanyaan tentang isteri alam semesta ini, jawabannya dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitiologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi.upaya para ahli pikir untuk mengarahkan kepada suatu kebebasan berfikir , ini kemudian banyak orang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni, maka timbullah peristiwa ajaib The Greek Miracle yang artinya dapat dijadikan sebagai landasan peradaban dunia.
Pelaku filsafat adalah akal dan musuhnya adalah hati. Pertentangan antara akal dan hati itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat. Di dalam sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang, pernah kalah, hati pernah berjaya, juga pernah kalah, pernah juga kedua-duanya sama sama-sama menang. Diantara keduanya , dalam sejarah, telah terjadi pergugumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.
Yang dimaksud dengan akal disini ialah akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati adalah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada.akal itulah yang menghasilkan pengethauan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk disini. Ciri umum filsafat yunani adalah rasionalisme yang dimana mencapai puncaknya pada orang-orang sofis.
Dalam sejarah filsafat biasanay filsafat yunani dimajukan sebagai pangkal sejarah filsafat barat, karena dunia barat (Erofa Barat) dalam alam pikirannya berpangkal kepada pemikiran yunani. Pada masa itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya alam semesta serta dengan penghuninya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan kepercayaan. Ahli-ahli pikir tidka puas akan keterangan itu lalu mencoba mencari keterangan melalui budinya. Mereka menanyakan dan mencari jawabannya apakah sebetulnya alam itu. Apakah intisarinya? Mungkin yang beraneka warna ynag ada dalam alam ini dapat dipulangkan kepada yang satu. Mereka mencari inti alam, dengan istilah mereka : mereka mencari arche alam (arche dalam bahasa yunani yang berarti mula, asal).
Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat yunani ini lahir, yaitu:
1.         Bangsa yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal dari uapaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dan lain-lain.
2.         Karya sastra yunani yang dapt dianggap sebagai pendorong kelahiran filsafat yunani, karya Homerous mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang yunani yang didalamnya mengandung nilai-nilai edukatif.
3.         Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, kemudian berkat kemampuan dan kecakapannya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan sehingga mereka mempelajarinya tidak didasrkan pada aspek praktis saja, tetapi juga aspek teoritis kreatif.
Dengan adanya ketiga faktor tersebut, kedudukan mitos digeser oleh logos (akal), sehingga setelah pergeseran tersebut filsafat lahir.
            Periode yunani kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian, karena pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam, dimana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati sekitarnya.mereka membuat pertanyaan-pertanyaan tentang gejala alam yang bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche) yang sifatnya mutlak, yang berada di belakang segala sesuatu yang serba berubah.
            Para pemikir filsafat yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota perantauan Yunani yang terletak di pesisir Asia Kecil. Mereka kagum terhadap alam yang oleh nuansa dan ritual dan berusaha mencari jawaban tas apa ynag ada di belakang semua materi itu.

ZAMAN ABAD PERTENGAHAN

Abad Pertengahan ditandai dengan tampilnya para teolog di lapangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah para teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancilla theologia atau abdi agama. Namun demikian harus diakui bahwa banyak juga temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa ini. Periode Abad Pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan itu terutama terletak pada dominasi agama. Timbul­nya agama Kristen yang diajarkan oleh Nabi Isa as. pada permulaan Abad Masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan.
Pada zaman ini kebesaran kerajaan Romawi runtuh, begitu pula dengan peradaban yang didasakan oleh logika ditutup oleh gereja dan digantikan dengan logika keagamaan. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran yang sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani Kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu. Pada zaman itu akademia Plato di Athena ditutup meskipun ajaran-ajaran Aristoteles tetap dapat dikenal. Para filosof nyaris begitu saja menyatakan bahwa Agama Kristen adalah benar.
Mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani ada dua: Golongan yang menolak sama sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang kafir, karena tidak mengakui wahyu. Menerima filsafat Yunani yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan, kebijaksanaan manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati maka akal dapat dibantu oleh wahyu.

Filsafat pada zaman Abad Pertengahan mengalami dua periode, yaitu: Periode Patristik, berasal dari kata Latin patres yang berarti bapa-bapa Gereja, ialah ahli-ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen. Periode ini mengalami dua tahap: 1) Permulaan agama Kristen. Setelah mengalami berbagai kesukaran terutama mengenai filsafat Yunani, maka agama Kristen memantapkan diri. Keluar memperkuat gereja dan ke dalam menetapkan dogma­-dogma. 2) Filsafat Agustinus yang merupakan seorang ahli filsafat yang terkenal pada masa patristik. Agustinus melihat dogma-dogma sebagai suatu keseluruhan. Periode Skolastik, berlangsung dari tahun 800-1500 M. Periode ini dibagi menjadi tiga tahap: 1) Periode skolastik awal (abad ke-9-12), ditandai oleh pembentukan rnetode-metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang Universalia. 2) Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13), ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan Yahudi. Puncak perkembangan pada Thomas Aquinas. 3) Periode skolastik akhir (abad ke-14-15), ditandai dengan pemikiran kefilsafatan yang berkembang ke arah nominalisme, ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal. Pengertian umum hanya momen yang tidak mempunyai nilai-nilai kebenaran yang objekti.

MASA HELINITIS DAN ROMAWI

Pada zaman Alexander Agung (359-323 SM) sebagai kaisar Romawi dari Macedonia dengan kekuatan militer yang besar menguasai Yunani, Mesir, Hingga Syria. Pada masa itu berkembang sebuah kebudayaan trans nasional yang disebut kebudayaan Hellinistis, karena kekuasaan Romawi dengan ekspansi yang luas membawa kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani saja, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander Agung. Bidang filsafat, di Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting, tetapi berkembang pula pusat-pusat intelektual lain, terutama kota Alexandria. Jika akhirnya ekspansi Romawi meluas sampai ke wilayah Yunani, itu tidak berarti kesudahan kebudayaan dan filsafat Yunani, karena kekaisaran Romawi pun pintu di buka lebar untuk menerima warisan kultural Yunani.
Dalam bidang filsafat tetap berkembang, namun pada saat itu tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh besar kecuali Plotinus. Pada masa ini muncul beberapa aliran berikut:
Pertama, Sinisme. Menurut paham ini jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut Logos. Oleh karena itu, segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari. Aliran Sinisme merupakan pengembangan dari aliran Stoik.

Kedua, Stoik. Menyatakan penyangkalannya adanya “Ruh” dan “Materi” aliran ini disebut juga dengan Monoisme dan menolak pandangan Aristoteles dengan Dualismenya. Ketiga, Epikurime. Segala-galanya terdiri atas atom-atom yang senantiasa bergerak. Manusia akan bahagia jika mau mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa. Setiap tindakan harus dipikirkan akan akibatnya. Aliran ini merupakan pengembangan dari teori atom Democritus sebagai obat mujarab untuk menghilangkan rasa takut pada takhayul. Keempat, Neo Platonisme. Paham yang ingin menghidupkan kembali filsafat Plato. Tokohnya adalah Plotinus. Seluruh filsafatnya berkisar pada Allah sebagai yang satu. Segala sesuatu berasal dari yang satu dan ingin kembali kepadanya.

ZAMAN KONTEMPORER (ABAD KE-20 DAN SETERUSNYA)



Di antara ilmu khusus yang dibicarakan oleh para filsuf, bidang fisika menempati kedudukan yang paling tiggi. Menurut Traut fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang mernbentuk alam semesta juga menunjukkan bahwa secara historis hubungan antara fisika dengan flsafat terliht dalam dua cara. Pertama, persuasi filosafis mengenai metode fisika, dan dalam interaksi antara pandangan subtasional tentang fisika (misalnya: tentang materi, kuasa, konsep ruang, dan waktu). Kedua, ajaran filsafat tradisional yang menjawab fenornena tentang materi, kuasa, ruang, dan waktu. Dengan demikian, sejak semula sudah ada hubungan yang erat antara filsafat dan fisika.

Fisikawan abad ke-21 adalah Albert Einstain menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Di samping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain, Zaman Kantemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang Mengalami kemajuan sangat pesat.


Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kantemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara rnendalam. Ilmnu kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainya, sehingga dihadirkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dewasa ini dikenal dengan teknolagi kloning.

Al-Ghazali

Memiliki pemikiran berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu mantq, metafiska dan fisika yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf yang menulis tentang kefilsafatan dalam karyanya Maqashid Al Falasifah, sesudah itu ia menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana ia bertindak bukan sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan agama. 
Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup menggugat dirinya sendiri. Ia jujur, konsekuen dan tegas dalam pendirian. Selalu nengacu pada kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam.  Menurut Al-Ghazali agama tidak melarang ataupun memerintahkan mempelajari ilmu matematika, karena ilmu adalah hasil pembuktian pemikiran orang yang tidak bisa diingkari, sesudah dipahami dan dimengerti. Tetapi ilmu dimaksud menimbulkan 2 keberatan: 
(1) Karena keberatan dan ketelitian ilmu-ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya, sampaipun dalam lapangan ketuhanan; (2) Sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama, harus mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara’.
Lapangan logika menurut Al-Ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau dengan kata lain agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi tentang penyelidikan dalil-dalil pembuktian, qiyas-qiyas (sylogisme), syarat-sayarat pembuktian (burhan), definisi-definisi dan sebagainya. Semua persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai oleh ulama-ulama theologi Islam meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan kata-katanya. Bahasa yang ditimbulkan oleh logika dari filosuf-filosuf, ialah karena syarat-syarat pembuktian tersebut juga menjadi pendahuluan dalam soal-soal ketuhanan (metafisika), sedang sebenarnya tidak demikian.

Ilmu fisika menurut Al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur (benda-benda) tunggal, seperti air, hawa tanah dan api: kemudian benda-benda tersusun seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam, sebab-sebab perubahan dan pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan langan kedokteran, yaitu menyelidiki tubuh orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak diisyaratkan mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan dalam buku Tahafutu Al Falasifah, yang disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai (tunduk) kepada Tuhan, tidak bekerja dengan diri sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan zat pencipta.

Ibnu Maskawaih - Filosuf Muslim

Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M.
Ditinjau dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara’) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M.
‘Adhud Al-Daulah amat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa itu jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi, disamping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Riwayat pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat sya’ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Diduga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Pemikiran filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanyaAtau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah “bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”.
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.

Filsafat Kristen

“Filsafat Kristen” mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar diatas, masih ada beberapa agama lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang sampai sekarang masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Budha dalam bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar, atau yang mencapai pencerahan sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk mengetahui). Budha merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama yang dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan. Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddhaadalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya.
Taoisme merupakan filsafat Laozi dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang. Yin dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif mesti adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong, tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak akan wujud negatif, magnet tidak akan terjadi.

Filsafat Timur

“Filsafat Timur” adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
‘Filsafat Timur Tengah ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan Averroes.

Filsafat Barat

“Filsafat Barat” adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, RƩne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai sosial 

Filsafat Di Indonesia

Filsafat Indonesia adalah sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam berbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia, meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh M. Nasroen, seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama Jurusan Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia.  M.Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38).
Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai kekayaan budaya bangsa kita sendiri, yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai pemikiran-pemikiran yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai pemikiran primordial atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi. Secara kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains.
Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.

Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya. Sebagai suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis,Indonesia: Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudulFalsafah Indonesia (1967).

Kajian Filsafat Pancasila

Kajian Epistemologi
Kajian epistemologi filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a.        Tentang sumber pengetahuan manusia.
b.        Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; serta
c.        Tentang watak pengetahuan manusia.
Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek kajian pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Adapun tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama, adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia itu scndiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa material is Pancasila.
Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, yaitu:
1.      Sila pertama Pancasila mendasari dan mcnjiwai keempat sila lainnya.
2.      Sila kcdua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kclima;
3.      Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima.
4.      Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima; serta
5.      Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga,dan keempat.
Demikianlah, susunan Pancasila memiliki sistem logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifal mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya, kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesis yang harmonis di antara potensi-potensi kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi Pancasik: mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifai kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social
.

Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila memandang bahwa ilnu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan padc kcrangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalarr membangun perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.

Selasa, 27 Desember 2016

SERTIFIKAT SEMINAR NASIONAL

Diposting oleh Unknown di 21.42 0 komentar

Senin, 26 Desember 2016

Pengertian filsafat bahasa (Analitik) dan perkembangannya

Diposting oleh Unknown di 06.26 0 komentar
Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara terminologi yaitu:
Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal. Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.
Didalam kamus populer filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran Wina. filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu elsakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi). 
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual. Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.
Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. kedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan. 
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa. 

Bertrand Russel - Filsafat Analitik

Diposting oleh Unknown di 06.25 0 komentar
Bertrand Russel (1872-1970)  lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali, 71 buku dan brosur) tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell  yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada dekade 1920-30 an.
Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti. Russerl menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta, bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta dengan bahasa, dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russerl merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.
Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi tersebut. untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan sintesis logis.

Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.

Gottlob Frege - Filsafat Analitik

Diposting oleh Unknown di 06.20 0 komentar
Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.
Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang.  Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan acuan.
Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat. 

Filsafat Politik

Diposting oleh Unknown di 06.11 0 komentar
Filsafat politik telah lahir sejak manusia mulai menyadari bahwa tata sosial kehidupan bersama bukanlah sesuatu yang terberi secara alamiah, melainkan sesuatu yang sangat mungkin terbuka untuk perubahan. Oleh karenaitu, tata politik merupakan produk budaya dan memerlukan justifikasi filosofis untuk memepertahankannya. Filsafat politik juga seringkali muncul sebagai tanggapan terhadap situasi krisis zamannya.
Pada era pertengahan, tema relasi antara negara dan agama menjadi tema utama filsafat politik. Pada era modern,tema pertentangan antara kekuasaan absolut dan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi menjadi tema utama refleksi filsafat politik.Menurut Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan.
Konsep pemikiran Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah cerminan mansia yang menjadi warganya (J.H. Rapar, 2001). Filsafat politik memberikan penjelasan yang berdasarkan rasio dilihat adanya hubungan antara sifat dan hakikat dari alam semesta (universe) dengansifat dan hakikat kehidupan politik di dunia fana ini.
Pokok pikiran dari filsafat politik adalah bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti metafisika dan epistemologi harus dipecahkan lebih dahulu sebelum persoalan politik yang sehari-hari dapat ditanggulangi.

Contoh: Keadilan merupakan hakikat dari alam semesta sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai kehidupan yang baik yang dicita - citakan oleh Plato. Filsafat politik erat kaitannya dengan etika dan filsafat politik. Dalam pembahasan filsafat politik dikaitkan dengan filsafat politik pendidikan.

Filsafat Politik dan Kesadaran

Diposting oleh Unknown di 06.03 0 komentar
Filsafat politik dan filsafat kesadaran berdiri di dalam bayang-bayang definisi filsafat di atas. Filsafat politik adalah cabang dari filsafat yang hendak memahami hakekat dari kehidupan politik manusia, dan memberikan arahan tentang cara menciptakan politik yang mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Filsafat kesadaran adalah cabang filsafat yang hendak memahami hakekat dari kesadaran manusia. Keduanya menggunakan metode yang bersifat logis, kritis, rasional, ontologis dan sistematis.
Filsafat politik hendak menemukan ide dan prinsip yang memungkinkan adanya masyarakat, atau komunitas, dalam segala bentuknya. Inilah yang disebut sebagai pendekatan deskriptif di dalam filsafat politik. Pendekatan ini nantinya berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, politik, hukum dan ilmu budaya. Namun, filsafat politik tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif: ia menawarkan prinsip-prinsip yang memungkinkan suatu komunitas mencapai perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.
Dua prinsip yang penting di dalam filsafat politik, yakni keadilan dan kesetaraan. Ada beragam arti dari konsep keadilan dan kesetaraan. Filsafat politik hendak mengupas dan mengembangkan beragam arti tersebut, dan melihat kemungkinan penerapannya di berbagai keadaan. Dua prinsip ini menjadi nyata, ketika ia menjadi prinsip utama di dalam berbagai institusi publik yang menata keadaan politik sebuah komunitas.

Filsafat politik juga memiliki ciri kritis. Ia tidak pernah puas dengan satu jawaban. Tidak ada jawaban final. Yang ada adalah proses diskusi terus menerus, sehingga pandangannya bisa terus menyesuaikan dengan keadaan dunia yang terus berubah dengan cepat sekarang ini.

Corak Filsafat Bangsa Yunani

Diposting oleh Unknown di 05.56 0 komentar
Jika dilihat kebelakang corak filsafat bangsa Yunani, maka sudah barang tentu bukan melihat keruntuhan Yunani yang telah lama ditinggalkanDi sini yang akan ditinjau dan dipahami serta yang dihadapi adalah unsur-unsur yang sebagian besar menjadi fondasi bangunan untuk kultur modern. Contohnya adalah jika dirunut jalan pikiran yang logis, maka mau tak mau adalah meneruskan tradisi yang diwarisi dari orang Yunani. Bertolak dari itu, apabila diamati secara seksama, maka betapa banyak kategori pikiran yang dipakainya sekarang. Oleh sebab itu dengan tidak disadarinya bahwa perkembangan sekarang ini berasal dari kebudayaan Yunani atau setidak tidaknya orang Yunani memberikan landasannya.
Untuk seorang filsuf atau ahli di bidang filsafat, sudah tentu banyak alasan untuk menaruh perhatian kepada filsafat Yunani. Ditinjau secara kronologis adanya filsafat (filsafat Barat) seluruhnya, maka era filsafat purba jaman Yunani mempunyai kedudukan istimewa, sebab di Yunani ditemui munculnya filsafat itu sendiri. Jadi mempelajari filsafat Yunani artinya menyaksikan kelahiran filsafat itu sendiri, sehingga tidak ada pemahaman filsafat yang lebih ideal kecuali studi tentang pertumbuhan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Hal ini pernah dikatakan oleh Alfred Whitehead seorang filsuf modern mengenai Plato sebagai berikut: “All Western philosophy is but a series of footnes to Plato”. Bila dilihat secara harafiah tampaknya kata kata ini sangat melebih lebihkan pada diri Plato, namun sebenarnya tidak, sebab pada Plato dan umumnya dalam seluruh filsafat Yunani tetap berjumpa dengan problem problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai masa kini.  Tema-tema filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”, “kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, dan “Tuhan” merupakan tema-tema pula bagi filsafat secara umum.Begitu pula para filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan pemikiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam kalangan mereka.

 Bicara tentang filsafat ciptaan Yunani tampaknya tidak boleh menghindar bahwa sebenarnya mengalami banyak kesulitan. Banyak orang mengatakan bahwa pembicaraan periode filsafat purba Yunani ini adalah “The early Greek period is more a field for fancy than for fact”. Jadi kesulitan kesulitannya berasal dari keadaan sumber, karena pikiran dari para filsufnya di mana disimpan untuk bisa ditemukan dan dipelajarinya. Di samping itu, ada juga beberapa filsuf Yunani yang tidak pernah menulis satu barispun, misalnya Thales, Pythagoras, dan Sokrates. Sehingga untuk mengetahui jalan pikiran mereka terpaksa harus percaya dari kesaksian orang lain yang berbicara tentang ajaran mereka, seperti percaya pada tulisan dan pembicaraan para murid ataupun teman sejawatnya. Selain itu, ada filsuf filsuf yang meskipun menulis satu karangan atau lebih, namun tulisan itu sudah hilang entah di mana, sehingga harus merasa puas dengan beberapa fragmen yang telah dikutip oleh para pengarang lain dengan kesaksian isi ajaran mereka. Disinilah problem muncul, yaitu kesaksian bagaimana yang harus dipercaya tentang pikiran filsuf dimaksud. Problem tentang sumber atau refrensi terutama muncul apabila yang dibicarakan adalah para filsuf yang mendahului Sokrates dan karenanya filsufnya pun lalu dijuluki “filsuf filsuf pra-Sokratik”. Meskipun banyak ditemui banyak kesulitan, namun masih bisa dibilang beruntung, karena mendapati sumber sumber yang jauh lebih memuaskan untuk ketiga karya filsuf Yunani yang dibilang besar, yaitu Plato, Aristoteles, dan Plotinus.

Filsafat Hasil Pikiran Para Filsuf Miletos

Diposting oleh Unknown di 05.55 0 komentar
Miletos sebagai kota tempat lahirnya filsafat (filsafat Barat), konon ceritanya juga tempat lahirnya tujuh orang bijaksana. Ketujuh orang bijaksana dimaksud memang tidak banyak yang diketahui siapa saja namanya, meskipun waktunya diketahui yaitu kira kira abad ke-6 s. M. Dalam berita berita yang didengar banyak orang pada waktu itu, namun tentang nama namanya pun berganti ganti dan berbeda beda. Meskipun banyak orang mengatakan berbeda beda, tetapi nama Thales dari Miletos tetap disebut sebut, sehingga ia tetap diingat sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana dimaksud. Hanya saja tentang Thales banyak dongeng yang beredar dan kurang dapat dipercaya. Tentang fakta dan data Thales semasa hidupnya, dapat diketahui dari tokoh sejarawan Herodotos yang hidup kira kira abad ke-5 s. M, namun Thales tidak disebutnya dengan nama “filsuf” dan tidak menceritakannya bahwa ia sebagai filsuf . Baru kemudian Aristoteles seorang filsuf yang hidup sekitar abad ke-4 s. M mengatakan secara tegas dan mengenakan gelar kepada Thales “filsuf yang pertama”.
Satu hal yang perlu diingat, bila Thales tidak pernah menulis pikiran pikirannya atau tentang karyanya pun hampir tidak ada kesaksiannya. Oleh sebab itu, satu satunya sumber yang bisa dipercaya yaitu dari karya Aristoteles, meskipun ia memperoleh informasi hanya tradisi lisan saja. Salah satu contoh yaitu dalam traktat Aristoteles tentang “metafisika” yang mengatakan bahwa “Thales termasuk filsuf yang mencari arkhe (asas atau prinsip) alam semesta”, dan Thales adalah yang pertama di antara sesama filsuf se angkatannya. tentang psikologi memberitahukan pula bahwa menurut Thales “kesemuanya penuh dengan allah allah”. Aristoteles memperkirakan bila yang dimaksud perkataan Thales itu bahwa jagad raya itu berjiwa. Jika hal itu memang benar, maka yang dikatakan oleh Thales itu tentu mengandung arti bahwa magnit mempunyai jiwa, sehingga mampu menggerakkan besi. Pendapat Thales bahwa jagad raya berjiwa, sering kali lalu disebut “teori mengenai materi yang hidup” (Yunani: hylezoisme)
Pendapat lain tentang prinsip pertama atau dalam istilah Yunani adalah arkhe alam semesta, dikemukakan oleh seorang filsuf lain, yaitu Anaximandros. Anaximandros mengatakan bahwa dunia timbul dari yang tak terbatas karena suatu penceraian (Yunani: ekkrisis). Prosesnya yaitu dilepaskan dari apeiron itu unsur unsur yang berlawanan (Yunani: ta enantia) berupa unsure panas dan unsure dingin, unsure kering dan unsure basah. Unsur-unsur itu selalu berperang antara yang satu dengan yang lain. Misalnya musim panas selalu mengalahkan musim dingin dan dsebaliknya, tapi bilamana satu unsure menjadi dominant, maka karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia), maka keseimbangan neraca harus dipulihkan kembali.
Filsuf lain yang mencari prinsip fundamental atau yang disebut arkhe dari alam semesta adalah Anaximenes. Tentang tanggal kelahiran Anaximenes tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas bahwa ia lebih muda dari Anaximandros. Anaximenes tidak menerima pandangan dari Anaximandros, karena menurutnya bagaimana mungkin hal yang tak terbatas (to apeiron) dapat menjadi asas yang pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya. Anaximenes mengatakan bahwa prinsip pertama yang merupakan asal usul alam semesta beserta isinya adalah udara. Hal ini dengan dasar bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan tubuh makluk hidup, terutama manusia, demikian pula udara melingkupi segala galanya. Jiwa sendiri menurut Anaximenes juga udara yang dipupuk dengan bernafas.
Ajaran filsuf filsuf dari Ionia yang pertama bisa disebut “filsafat alam”, karena perhatian mereka selalu dipusatkan pada alam. Alam senantiasa dalam keadaan perubahan, seperti malam mengganti siang, bulan terang mengganti bulan gelap, laut pasang kemudian surut, musim panas dilanjutkan musim dingin, dan lain sebagainya. Hal ini boleh ditambah yaitu bahwa rasa heran itu sebenarnya juga merupakan latar belakang mite mite kosmogonis dan mite mite kosmologis,namun filsuf filsuf dari Miletos untuk kali pertamanya memberi jawaban secara rasional atas problematic yang disodorkan oleh alam semesta. Hal inilah yang menjadi preatasi luar biasa hebatnya bagi filsuf Miletos, meskipun banyak unsure dari pemikiran mereka yang kedengarannya naĆÆf bagi telinga orang masa kontemporer ini.
Hasil pemikiran para filsuf pertama kiranya dapat disimpulkan dalam tiga ucapan yaitu:
1.    Alam semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, akibatnya maka harus diterangkan dengan menggunakan satu prinsip saja, meskipun dalam memilih satu prinsip zat asali itu antara filsuf yang satu dengan filsuf lain berbeda dalam mengartikan kesatuan dunia.
2.    Alam semesta dikuasai oleh suatu hokum. Oleh sebab itu, kejadian kejadian dalam alam semesta tidak merupakan kebetulan, melainkan ada semacam keharusan di belakang kejadian kejadiannya.
3.    Sebagai akibatnya, maka alam semesta merupakan kosmos. Katakosmos adalah istilah dari Yunani, maka boleh diterjemahkan  sebagai “dunia”, namun akan lebih tepat lagi apabila diterjemahkan “dunia yang teratur”. Jadi bagi orang Yunani, kosmos bertentangan dengan khaos artinya dunia dalam keadaan kacau balau (Bertens, 1987: 33).

Sejarah Filsafat Yunani

Diposting oleh Unknown di 05.31 0 komentar
Orang yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem kepercayaan bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai sesuatu yang bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng. Artinya suatu kebenaran lewat akal pikir (logis) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang bersumber dari mitos  (dongeng-dongeng).
Setelah abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Mereka menginginkan adanya pertanyaan tentang isteri alam semesta ini, jawabannya dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitiologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi.upaya para ahli pikir untuk mengarahkan kepada suatu kebebasan berfikir , ini kemudian banyak orang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni, maka timbullah peristiwa ajaib The Greek Miracle yang artinya dapat dijadikan sebagai landasan peradaban dunia.
Pelaku filsafat adalah akal dan musuhnya adalah hati. Pertentangan antara akal dan hati itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat. Di dalam sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang, pernah kalah, hati pernah berjaya, juga pernah kalah, pernah juga kedua-duanya sama sama-sama menang. Diantara keduanya , dalam sejarah, telah terjadi pergugumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.
Yang dimaksud dengan akal disini ialah akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati adalah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada.akal itulah yang menghasilkan pengethauan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk disini. Ciri umum filsafat yunani adalah rasionalisme yang dimana mencapai puncaknya pada orang-orang sofis.
Dalam sejarah filsafat biasanay filsafat yunani dimajukan sebagai pangkal sejarah filsafat barat, karena dunia barat (Erofa Barat) dalam alam pikirannya berpangkal kepada pemikiran yunani. Pada masa itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya alam semesta serta dengan penghuninya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan kepercayaan. Ahli-ahli pikir tidka puas akan keterangan itu lalu mencoba mencari keterangan melalui budinya. Mereka menanyakan dan mencari jawabannya apakah sebetulnya alam itu. Apakah intisarinya? Mungkin yang beraneka warna ynag ada dalam alam ini dapat dipulangkan kepada yang satu. Mereka mencari inti alam, dengan istilah mereka : mereka mencari arche alam (arche dalam bahasa yunani yang berarti mula, asal).
Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat yunani ini lahir, yaitu:
1.         Bangsa yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal dari uapaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dan lain-lain.
2.         Karya sastra yunani yang dapt dianggap sebagai pendorong kelahiran filsafat yunani, karya Homerous mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang yunani yang didalamnya mengandung nilai-nilai edukatif.
3.         Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, kemudian berkat kemampuan dan kecakapannya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan sehingga mereka mempelajarinya tidak didasrkan pada aspek praktis saja, tetapi juga aspek teoritis kreatif.
Dengan adanya ketiga faktor tersebut, kedudukan mitos digeser oleh logos (akal), sehingga setelah pergeseran tersebut filsafat lahir.
            Periode yunani kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian, karena pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam, dimana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati sekitarnya.mereka membuat pertanyaan-pertanyaan tentang gejala alam yang bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche) yang sifatnya mutlak, yang berada di belakang segala sesuatu yang serba berubah.
            Para pemikir filsafat yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota perantauan Yunani yang terletak di pesisir Asia Kecil. Mereka kagum terhadap alam yang oleh nuansa dan ritual dan berusaha mencari jawaban tas apa ynag ada di belakang semua materi itu.

ZAMAN ABAD PERTENGAHAN

Diposting oleh Unknown di 05.20 0 komentar
Abad Pertengahan ditandai dengan tampilnya para teolog di lapangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah para teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancilla theologia atau abdi agama. Namun demikian harus diakui bahwa banyak juga temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa ini. Periode Abad Pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan itu terutama terletak pada dominasi agama. Timbul­nya agama Kristen yang diajarkan oleh Nabi Isa as. pada permulaan Abad Masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan.
Pada zaman ini kebesaran kerajaan Romawi runtuh, begitu pula dengan peradaban yang didasakan oleh logika ditutup oleh gereja dan digantikan dengan logika keagamaan. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran yang sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani Kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu. Pada zaman itu akademia Plato di Athena ditutup meskipun ajaran-ajaran Aristoteles tetap dapat dikenal. Para filosof nyaris begitu saja menyatakan bahwa Agama Kristen adalah benar.
Mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani ada dua: Golongan yang menolak sama sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang kafir, karena tidak mengakui wahyu. Menerima filsafat Yunani yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan, kebijaksanaan manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati maka akal dapat dibantu oleh wahyu.

Filsafat pada zaman Abad Pertengahan mengalami dua periode, yaitu: Periode Patristik, berasal dari kata Latin patres yang berarti bapa-bapa Gereja, ialah ahli-ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen. Periode ini mengalami dua tahap: 1) Permulaan agama Kristen. Setelah mengalami berbagai kesukaran terutama mengenai filsafat Yunani, maka agama Kristen memantapkan diri. Keluar memperkuat gereja dan ke dalam menetapkan dogma­-dogma. 2) Filsafat Agustinus yang merupakan seorang ahli filsafat yang terkenal pada masa patristik. Agustinus melihat dogma-dogma sebagai suatu keseluruhan. Periode Skolastik, berlangsung dari tahun 800-1500 M. Periode ini dibagi menjadi tiga tahap: 1) Periode skolastik awal (abad ke-9-12), ditandai oleh pembentukan rnetode-metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang Universalia. 2) Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13), ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan Yahudi. Puncak perkembangan pada Thomas Aquinas. 3) Periode skolastik akhir (abad ke-14-15), ditandai dengan pemikiran kefilsafatan yang berkembang ke arah nominalisme, ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal. Pengertian umum hanya momen yang tidak mempunyai nilai-nilai kebenaran yang objekti.

MASA HELINITIS DAN ROMAWI

Diposting oleh Unknown di 05.18 0 komentar
Pada zaman Alexander Agung (359-323 SM) sebagai kaisar Romawi dari Macedonia dengan kekuatan militer yang besar menguasai Yunani, Mesir, Hingga Syria. Pada masa itu berkembang sebuah kebudayaan trans nasional yang disebut kebudayaan Hellinistis, karena kekuasaan Romawi dengan ekspansi yang luas membawa kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani saja, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander Agung. Bidang filsafat, di Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting, tetapi berkembang pula pusat-pusat intelektual lain, terutama kota Alexandria. Jika akhirnya ekspansi Romawi meluas sampai ke wilayah Yunani, itu tidak berarti kesudahan kebudayaan dan filsafat Yunani, karena kekaisaran Romawi pun pintu di buka lebar untuk menerima warisan kultural Yunani.
Dalam bidang filsafat tetap berkembang, namun pada saat itu tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh besar kecuali Plotinus. Pada masa ini muncul beberapa aliran berikut:
Pertama, Sinisme. Menurut paham ini jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut Logos. Oleh karena itu, segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari. Aliran Sinisme merupakan pengembangan dari aliran Stoik.

Kedua, Stoik. Menyatakan penyangkalannya adanya “Ruh” dan “Materi” aliran ini disebut juga dengan Monoisme dan menolak pandangan Aristoteles dengan Dualismenya. Ketiga, Epikurime. Segala-galanya terdiri atas atom-atom yang senantiasa bergerak. Manusia akan bahagia jika mau mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa. Setiap tindakan harus dipikirkan akan akibatnya. Aliran ini merupakan pengembangan dari teori atom Democritus sebagai obat mujarab untuk menghilangkan rasa takut pada takhayul. Keempat, Neo Platonisme. Paham yang ingin menghidupkan kembali filsafat Plato. Tokohnya adalah Plotinus. Seluruh filsafatnya berkisar pada Allah sebagai yang satu. Segala sesuatu berasal dari yang satu dan ingin kembali kepadanya.

ZAMAN KONTEMPORER (ABAD KE-20 DAN SETERUSNYA)

Diposting oleh Unknown di 05.17 0 komentar


Di antara ilmu khusus yang dibicarakan oleh para filsuf, bidang fisika menempati kedudukan yang paling tiggi. Menurut Traut fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang mernbentuk alam semesta juga menunjukkan bahwa secara historis hubungan antara fisika dengan flsafat terliht dalam dua cara. Pertama, persuasi filosafis mengenai metode fisika, dan dalam interaksi antara pandangan subtasional tentang fisika (misalnya: tentang materi, kuasa, konsep ruang, dan waktu). Kedua, ajaran filsafat tradisional yang menjawab fenornena tentang materi, kuasa, ruang, dan waktu. Dengan demikian, sejak semula sudah ada hubungan yang erat antara filsafat dan fisika.

Fisikawan abad ke-21 adalah Albert Einstain menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Di samping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain, Zaman Kantemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang Mengalami kemajuan sangat pesat.


Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kantemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara rnendalam. Ilmnu kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainya, sehingga dihadirkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dewasa ini dikenal dengan teknolagi kloning.

Al-Ghazali

Diposting oleh Unknown di 04.55 0 komentar
Memiliki pemikiran berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu mantq, metafiska dan fisika yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf yang menulis tentang kefilsafatan dalam karyanya Maqashid Al Falasifah, sesudah itu ia menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana ia bertindak bukan sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan agama. 
Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup menggugat dirinya sendiri. Ia jujur, konsekuen dan tegas dalam pendirian. Selalu nengacu pada kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam.  Menurut Al-Ghazali agama tidak melarang ataupun memerintahkan mempelajari ilmu matematika, karena ilmu adalah hasil pembuktian pemikiran orang yang tidak bisa diingkari, sesudah dipahami dan dimengerti. Tetapi ilmu dimaksud menimbulkan 2 keberatan: 
(1) Karena keberatan dan ketelitian ilmu-ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya, sampaipun dalam lapangan ketuhanan; (2) Sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama, harus mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara’.
Lapangan logika menurut Al-Ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau dengan kata lain agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi tentang penyelidikan dalil-dalil pembuktian, qiyas-qiyas (sylogisme), syarat-sayarat pembuktian (burhan), definisi-definisi dan sebagainya. Semua persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai oleh ulama-ulama theologi Islam meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan kata-katanya. Bahasa yang ditimbulkan oleh logika dari filosuf-filosuf, ialah karena syarat-syarat pembuktian tersebut juga menjadi pendahuluan dalam soal-soal ketuhanan (metafisika), sedang sebenarnya tidak demikian.

Ilmu fisika menurut Al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur (benda-benda) tunggal, seperti air, hawa tanah dan api: kemudian benda-benda tersusun seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam, sebab-sebab perubahan dan pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan langan kedokteran, yaitu menyelidiki tubuh orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak diisyaratkan mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan dalam buku Tahafutu Al Falasifah, yang disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai (tunduk) kepada Tuhan, tidak bekerja dengan diri sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan zat pencipta.

Ibnu Maskawaih - Filosuf Muslim

Diposting oleh Unknown di 04.49 0 komentar
Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M.
Ditinjau dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara’) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M.
‘Adhud Al-Daulah amat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa itu jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi, disamping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Riwayat pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat sya’ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Diduga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Pemikiran filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanyaAtau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah “bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”.
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.

Filsafat Kristen

Diposting oleh Unknown di 04.42 0 komentar
“Filsafat Kristen” mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar diatas, masih ada beberapa agama lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang sampai sekarang masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Budha dalam bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar, atau yang mencapai pencerahan sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk mengetahui). Budha merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama yang dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan. Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddhaadalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya.
Taoisme merupakan filsafat Laozi dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang. Yin dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif mesti adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong, tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak akan wujud negatif, magnet tidak akan terjadi.

Filsafat Timur

Diposting oleh Unknown di 04.40 0 komentar
“Filsafat Timur” adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
‘Filsafat Timur Tengah ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan Averroes.

Filsafat Barat

Diposting oleh Unknown di 04.34 0 komentar
“Filsafat Barat” adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, RƩne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai sosial 

Filsafat Di Indonesia

Diposting oleh Unknown di 04.31 0 komentar
Filsafat Indonesia adalah sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam berbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia, meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh M. Nasroen, seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama Jurusan Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia.  M.Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38).
Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai kekayaan budaya bangsa kita sendiri, yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai pemikiran-pemikiran yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai pemikiran primordial atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi. Secara kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains.
Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.

Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya. Sebagai suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis,Indonesia: Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudulFalsafah Indonesia (1967).

Kajian Filsafat Pancasila

Diposting oleh Unknown di 04.27 0 komentar
Kajian Epistemologi
Kajian epistemologi filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a.        Tentang sumber pengetahuan manusia.
b.        Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; serta
c.        Tentang watak pengetahuan manusia.
Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek kajian pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Adapun tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama, adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia itu scndiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa material is Pancasila.
Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, yaitu:
1.      Sila pertama Pancasila mendasari dan mcnjiwai keempat sila lainnya.
2.      Sila kcdua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kclima;
3.      Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima.
4.      Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima; serta
5.      Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga,dan keempat.
Demikianlah, susunan Pancasila memiliki sistem logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifal mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya, kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesis yang harmonis di antara potensi-potensi kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi Pancasik: mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifai kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social
.

Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila memandang bahwa ilnu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan padc kcrangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalarr membangun perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.